REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Said Aqil Siradj (SAS) Institute menegaskan Muslim Cyber Army (MCA) yang tengah dibongkar jaringannya oleh aparat kepolisian karena menyebar hoaks dan ujaran kebencian tak ada hubungannya dengan Islam. Idiom Muslim dalam MCA harus dihindari.
"Kita harus tegas, bahwa MCA bukanlah bagian dari penguatan Islam," kata Direktur SAS Institute Imdadun Rahmat dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (14/3).
Untuk itu, Imdadun meminta kepolisian segera membongkar jaringan MCA karena kiprah MCA sangat berpotensi menyulut konflik horizontal. Kehadiran MCA, kata dia, merupakan paradoks di era digital.
Revolusi 4.0 telah membuka peluang platform informasi yang egaliter. Artinya, setiap orang atau kelompok bisa membuat kantor beritanya masing-masing. Di waktu yang sama, potensi hoaks justru semakin membesar.
"Duplikasi simbol Islam pada sindikasi kejahatan media sosial harus kita lawan. Ini sama sekali bukan Islam. Mereka adalah kelompok yang mencari keuntungan di tengah rentannya konflik horizontal di masyarakat," kata dia.
Imdadun memastikan lembaga yang digagas Said Aqil Siroj ini akan berada di garis depan melawan penyebaran berita palsu dan ujaran kebencian. Sebelumnya, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama memuji sikap Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jenderal Polisi Syafruddin yang meminta agar jajarannya untuk tidak lagi menyebut Muslim Cyber Army (MCA) terkait penyebaran kabar bohong atau hoaks.
"Kami berterima kasih atas sikap Wakapolri yang meminta agar penyebaran kabar bohong tidak diasosiasikan dengan umat Muslim, karena memang seorang Muslim itu sendiri tidak akan menyebarkan kabar bohong," ujar Ketua GNPF Ulama, Yusuf Muhammad Martak, di Jakarta, Senin (12/3).
Ia menjelaskan Islam tidak suka kebohongan dan fitnah. Begitu juga umat Islam tidak pernah melakukan itu. "Umat Islam tidak akan pernah membalas kabar bohong dengan kabar bohong. Umat Islam hanya mengklarifikasi mengenai kabar tersebut apakah benar atau tidak," tambah dia.