REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pihak berwenang Gaza yang berasal dari Hamas memutuskan untuk menutup kantor layanan seluler Qatari-Palestina di wilayah itu. Hal ini dilakukan menyusul terjadinya ledakan dan baku tembak di Beit Hanoun, yang diduga sebagai percobaan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah dan Kepala Layanan Intelijen Umum Majid Faraj pada 13 Maret lalu.
Dilansir dari The Independent, penyelidikan lebih lanjut terhadap insiden itu sedang dilakukan. Menurut laporan, ledakan berasal dari sebuah bom pinggir jalan yang ditargetkan menyerang konvoi yang membawa Hamdallah pada awal pekan, setelah ia memasuki Beit Hanoun dari wilayah Israel.
Beruntung, Hamdallah selamat dalam kejadian itu. Namun, beberapa pengawalnya dilaporkan terluka. Selain itu, menurut keterangan dari pihak berwenang Gaza, ada bom kedua yang hendak diledakkan, namun gagal.
Dalam ledakan kedua yang gagal itu, pihak berwenang menemukan sebuah kartu SIM dari perusahaan layanan seluler Wataniya. Hal inilah yang kemudian membuat penyelidikan lebih lanjut dilakukan dan meminta bantuan sejumlah kantor penyedia layanan telepon seluler, seperti Qatari-Palestina.
Namun, kantor layanan seluler tersebut menolak untuk bekerjasama membantu penyelidikan. Karena itu, Kepolisian Hamas memutuskan untuk menutup Qatari-Palestina, yang merupakan anak perusaaan dari Qatars Ooredoo.
Sementara itu, Otoritas Palestina (PA) yang dipimpin Fatah di Tepi Barat telah menuding bahwa Hamas bertanggung jawab atas percobaan pembunuhan tersebut. Namun, Hamas dengan tegas membantah tuduhan itu.
Dalam sebuah pernyaaan, Faraj juga mengatakan bahwa terlalu dini untuk menyimpulkan siapa yang bertanggung jawab dalam penyerangan itu. Tetapi, ia menambahkan bahwa Hamas memiliki kewajiban untuk mengamankan wilayah yang dikuasainya.
Konflik antara Fatah dan Hamas dimulai untuk pertama kalinya pada 2006 lalu. Perang saudara antara dua faksi terjadi, di mana pertikaian meruncing setelah Hamas memenangkan pemilihan legislatif.
Hamas kemudian menguasai Jalur Gaza secara resmi pada 2007. Sebelumnya, ketegangan antara Hamas dan Fatah meningkat pada 2005, tepatnya sejak kematian Presiden Palestina Yasser Arafat pada 11 November 2004.
Sejak 2006, tidak pernah dilakukan pemilihan umum di Palestina. Rencananya, pemilu kembali akan dilangsungkan tahun lalu di wilayah Tepi Barat. Namun, Otoritas Palestina yang didominasi oleh Fatah menunda hal ini.
Tiga tahun yang lalu, tepatnya pada 2014 langkah rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas juga telah dilakukan. Kedua faksi sepakat bersatu dan Jalur Gaza diambil alih kembali oleh Otoritas Palestina.
Hamas saat itu juga menyetujui pembentukan negara Palestina sesuai dengan perbatasan 1967 lalu. Kemudian, kelompok itu menyetujui rencana dari Presiden Mahmoud Abbas dari Fatah dalam berbagai hal untuk mendorong pemerintahan Palestina bersatu.
Kemudian pemerintah konsensus nasional teknorat mulai beoperasi pada 2 Juni 2014. Namun, sekitar satu bulan setelahnya, kedua faksi kembali terpecah dengan adanya perang antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza.
Fatah dan Hamas saat itu disebut kembali ke titik awal, yaitu terpecah untuk membentuk sebuah pemerintahan Palestina yang bersatu, Masing-masing faksi juga saling tuding bahwa pelanggaran telah dilakukan.