REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Henri Chambert-Loir (2007) dalam buku Ziarah dan Wali Di Dunia Islam mengatakan, suatu bangsa akan terputus dengan sejarah masa lalunya bila memeluk agama baru, apalagi kalau agama baru itu adalah agama tauhid (monoteis).
Jika teori itu digunakan untuk melihat sejarah keagamaan masyarakat Muslim di Sulawesi Selatan, di satu sisi ada benarnya, yaitu hilangnya tradisi pemujaan terhadap dewa-dewa. Namun di sisi lain, terutama di bidang kebudayaan dan kesenian tidaklah berubah, justru terjadi perkembangan yang signifikan.
Dijelaskan oleh Abu Hamid (1994) dalam bukunya, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, tradisi keagamaan dalam masyarakat Sulawesi Selatan secara umum dibagi menjadi dua, yakni (1) kepercayaan lama yang bersumber dari tradisi keagamaan nenek moyang, dan (2) kepercayaan yang bersumber dari Islam.
Keduanya membentuk cara pandang dan pola pikir masyarakat Sulawesi Selatan yang diekspresikan melalui simbol-simbol dan tanda-tanda kebudayaan yang mereka ciptakan. Salah satu simbol hasil pertelingkahan antara warisan lokal dengan Islam adalah arsitektur, seperti arsitektur Masjid Tua Palopo.
Masjid Tua Palopo dibangun sekitar tahun 1604 M oleh seorang ulama dari Sumatra Barat, Datuk Sulaiman yang bergelar Datuk Pattimang. Dinamakan Masjid Tua Palopo karena usianya cukup tua, sekarang telah mencapai 5 abad, dan letaknya di Kota Palopo. Secara historis, masjid ini berdiri di saat Kerajaan Luwu, yang telah memeluk Islam, mencapai kejayaannya di bawah kekuasaan Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi, Sultan Abdullah Matinroe.
Oleh masyarakat setempat, Masjid Tua Palopo dinilai sebagai pemersatu antaranggota masyarakat berdasarkan kesamaan agama. Ajaran Islam senapas dengan konsep hidup masyarakat lokal, yaitu siri' dan pesse. Siri' berarti harga diri atau martabat sebagai seorang manusia. Sementara pesse bermakna sikap sepenanggungan, seperasaan, kesetiakawanan terhadap sesama manusia.
Oleh karena itu, ketika Islam hadir di Sulawesi Selatan, masyarakat setempat menerimanya secara damai. Diciptakanlah simbol pemersatu berdasarkan konsep lokal dan Islam berupa masjid, tempat ibadah di mana persatuan, persamaan, dan tenggang rasa dapat tercipta.
Tampak jelas, agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini mengakar kuat dalam sanubari Masyarakat Sulawesi Selatan dan menjadi alat integrasi sosial yang ampuh.