Kamis 22 Mar 2018 20:27 WIB
Merespons Tuntutan Ormas Islam Terkait Cadar

Ini Tanggapan Lengkap Rektor IAIN Bukittinggi

Aturan yang dibuat di IAIN bertujuan untuk keteraturan pelaksanaan tugas lembaga.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Agus Yulianto
Edaran yang berisikan imbauan bagi civitas akademika IAIN Bukittinggi untuk tidak mengenakan cadar.
Foto: Istimewa
Edaran yang berisikan imbauan bagi civitas akademika IAIN Bukittinggi untuk tidak mengenakan cadar.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi menjawab tuntutan sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam untuk mencabut aturan pembatasan cadar di lingkungan akademik. Sebagai jawaban, pihak kampus memutuskan mengganti kata 'cadar' dalam surat edaran yang terbit pada 20 Februari 2018 lalu.

Dalam surat tanggapan yang ditandatangani Rektor IAIN Bukittinggi Ridha Ahida pada 20 Maret 2018 tersebut, pihak kampus memperbarui imbauan dalam poin yang mengatur tentang tata cara berpakaian mahasiswi. Kata 'cadar' dihilangkan dan diganti dengan 'penutup wajah'.

Berikut merupakan isi lengkap Surat Tanggapan Rektor IAIN Bukittinggi atas tuntutan perwakilan ormas Islam:

Pada tanggal 19 Maret 2018, Pimpinan IAIN Bukittinggi menerima Surat Pernyataan Sikap dari Aliansi Umat Islam, DPD FPI, dan MMI Daerah Bukittinggi-Agam, GNPF-Ulama Agam, KAMMI Bukittinggi dan Padang, Majelis Ulama Nagari Kubang Putih, dan Ikatan Alumni Azzamul Iffah, Pimpinan IAIN Bukittinggi dengan ini memberikan tanggapan:

1. Masalah pembebastugasan Dosen a.n. Dr Hayati Syafri (selanjutnya disebut HS) dari mengajar pada semester genap Tahun Akademik 2017/2018 adalah berkaitan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh HS sebagai tenaga pengajar yang tidak dapat berlangsung dengan efektif, efisien, terukur, dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Saat ini HS adalah PNS/ASN di IAIN Bukittinggi dan mengisi absen/finger print kehadiran setiap hari. Segala hak-haknya diterima sebagaimana ASN lain sesuai ketentuan.

2. Dosen adalah tenaga pendidik profesional memiliki tugas transformasi dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Dosen harus memiliki kompetensi pedagogik (kemampuan mengelola peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki), kompetensi kepribadian (kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi peserta didik), kompetensi sosial (kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik) dan kompetensi profesional (kemampuan untuk melaksanakan proses pembelajaran secara komprehensif dengan dukungan data dan informasi paling aktual). Dalam melaksanakan tugas, dosen memiliki kewajiban untuk melaksanakan proses pembelajaran dan menilai/mengevaluasi hasil pembelajaran (UU14/2015, UU12/2012, UU20/2003). Tugas pembelajaran harus dilaksanakan sesuai dengan Standar Nasional Tentang Pendidikan yang terdiri dari standar isi, proses, dan penilaian.

Karakteristik pembelajaran harus bersifat interaktif, holistik, integratif, dan berpusat pada mahasiswa. Interaktif adalah capaian pembelajaran lulusan diraih dengan mengutamakan proses interaksi dua arah antara mahasiswa dan dosen. Sedangkan berpusat pada mahasiswa menyatakan bahwa capaian pembelajaran kreativitas, kepribadian dan kebutuhan mahasiswa (Permenristekdikti 44/2015). Selain itu, dosen harus mematuhi ketentuan yang dibuat oleh Perguruan Tinggi.

Perguruan Tinggi memiliki otonomi mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Otonomi dimaksud terdiri dari akademik dan nonakademik. Otonomi akademik meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian sesuai perundang-undangan. Sedangkan nonakademik meliputi organisasi, keuangan, dan ketenagaan (PP4/2014). Dosen sebagai tenaga kependidikan dan ASN dalam melaksanakan dinas harus memenuhi semua ketentuan-ketentuan kedinasan yang telah ditetapkan baik melalui UU, PP, dan Permen atau pun yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang bagi setiap PNS/ASN wajib ditaati (PP53/2010).

3. Surat edaran tertanggal 20 Februari 2018 yang ditandatangani oleh Dekan FTIK menyampaikan imbauan kepada mahasiswa FTIK agar tidak melanggar kode etik berpakaian bagi perempuan. Dalam surat edaran tersebut disampaikan, bagi perempuan memakai pakaian agak longgar, jilbab tidak tipis, dan tidak pendek, tidak bercadar/masker/penutup wajah, memakai sepatu dan kaos kaki. Bagi yang tidak mematuhi tidak diberikan layanan akademik. Surat edaran dikeluarkan untuk tujuan agar mahasiswa sebagai penerima layanan akademik dan nonakademik di fakultas dapat dilayani dengan baik sesuai ketentuan yang ada. Sarana di kampus adalah Barang Milik Negara (BMN) dan manfaat dari barang tersebut dapat diambil sesuai ketentuan serta pihak kampus harus dapat menjaga dan mempertanggungjawabkan sesuai ketentuan BMN. Surat edaran juga bertujuan agar proses belajar mengajar bersifat efektif, holistik, integratif, dan berpusat pada mahasiswa serta evaluasi/ujian berjalan dengan baik, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.

4. Surat edaran di atas adalah aturan bagi mahasiswa dan berlaku hanya di kampus selama pelayanan akademik diberikan dan diterima oleh mahasiswa. Surat edaran ini kemudian viral di media sosial dan diberikan komentar-komentar yang bernada negatif dan tendensius oleh orang-orang yang tidak mengetahui isi surat edaran dan tujuannya secara utuh. Kata 'tidak bercadar' menjadi fokus komentar banyak penanggap di media sosial dan kata 'tidak bercadar' diambil secara parsial. Kondisi inilah yang menjadi awal munculnya opini menuding IAIN melarang mahasiswa bercadar, Islamofobia, sekuler, menghina simbol-simbol Islam dan memberangus HAM. Sangat jelas dan tegas surat edaran ini disalahpahami dan ditarik ke ranah lain yang disalahpahmi tetapi diduga sudah ditumpangi oleh kepentingan lain yang sama sekali berbeda dari isi dan tujuan surat.

5. Untuk meluruskan informasi dan kesalahpahaman yang beredar dan menenangkan keresahan yang timbul dari banyaknya postingan, komentar-komentar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang terlanjur luas, kami menjelaskan dan sekaligus mempertegas surat edaran tersebut dengan, *bagi perempuan memakai longgar, tidak tipis dan tidak pendek, memakai jilbab/mudawarah dalam, memakai sepatu dan kaos kaki, serta tidak memakai penutup wajah pada layanan atau kegiatan akademik di lokal, perpustakaan, labor, dan kantor administrasi.

Berdasarkan penjelasan di atas, IAIN sebagai insitusi pendidikan tinggi dalam melaksanakan tugas-tugas Tridharma Perguruan Tinggi mengacu ke aturan yang ada, tidak diskriminatif apalagi melakukan pelanggaran HAM. IAIN Bukittinggi tidak pernah mencurigai adanya penyusupan ajaran lain di balik penggunaan penutup wajah. Semua itu adalah sesuatu yang jauh dari visi dan misi IAIN Bukittinggi.

Aturan-aturan yang dibuat di IAIN bertujuan untuk keteraturan pelaksanaan tugas-tugas sebagai lembaga pendidikan. Dengan aturan itu proses belajar-mengajar dapat berlangsung efektif, efisien, dan terukur serta dapat dipertanggungjawabkan. Demikian surat ini dibuat atas pernyataan yang dikirimkan.

 

Mari kita saling memahami dan jangan sampai kesalahpahaman membawa dan membuat ukhuwah dan persaudaraan di antara kita tercabik dan terkoyak. Semua itu tidak hanya akan merugikan bangsa dan negara yang kita cintai ini, namun lebih dari itu merugikan kita semua sebagai penganut agama Islam yang menjunjung tinggi persatuan dan persaudaraaan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement