REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan peraturan Komisi Pemilihan Umum lebih baik daripada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait banyak calon kepala daerah menjadi tersangka dugaan kasus korupsi. Sebab, perppu juga perlu disahkan oleh DPR.
"Kalau ingin segara ya peraturan KPU itu lebih ringkas dan lebih baik; daripada perppu kan harus ke DPR lagi, panjang urusannya," kata Jusuf Kalla kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa (27/3).
Pernyataan tersebut selaras dengan komentar Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Dia mengatakan pengguguran tersangka dari daftar calon kepala daerah cukup diatur oleh KPU. Tidak perlu pemerintah menerbitkan perppu.
"Hal-hal yang sifatnya mendesak, seperti usulan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) soal tersangka itu, kalau harus lewat perppu, apalagi harus mengubah undang-undang kan dibahas panjang dengan DPR. Jadi saya kira cukup dengan PKPU," kata Tjahjo usai menghadiri Rapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Senin (26/3).
Pemerintah, lanjut Tjahjo, belum memandang adanya situasi darurat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Karena itu, dia mengatakan, pemerinta merasa penerbitan perppu belum diperlukan untuk saat ini.
"Yang menentukan adalah KPU, apakah ini akan mengganggu tahapan atau tidak. Saya kira tinggal dua kendala itu. Soal calon tersangka, kemarin ada yang sudah ditahan pun menang, yang masuk penjara pun dilantik," kata Tjahjo.
Sebelumnya, Ketua KPU RI Arief Budiman mengatakan keputusan untuk menerbitkan perppu bukan berasal dari KPU. Keputusan justru dari pembuat undang-undang yakni DPR dan Pemerintah.
Keadaan darurat, menurut Arief, bisa saja ditafsirkan berbeda-beda oleh sejumlah pihak. Menurut dia, kondisi darurat itu bisa saja dimaknai apabila calon kepala daerah berstatus tersangka jumlahnya banyak, lebih dari separuhnya.
"Misalnya saja, sekarang ada 569 pasangan calon, kemudian ada pengumuman bahwa sekian persen di antaranya, katakanlah, tersangka semua. Itu kan bisa saja mungkin dinilai gawat darurat," kata Arief.
Namun untuk saat ini, Arief menegaskan, KPU tidak dapat mengganti calon kepala daerah yang diduga terlibat kasus korupsi, karena UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah tidak mengatur mekanisme penggantian tersebut.