REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil menilai publik merespons sejumlah persoalan dalam pembahasan RUU KUHP yang sedang dibahas DPR RI bersama Pemerintah. Menurut Nasir Djamil, respons dan kritik dari masyarakat, terutama dari para penggiat di bidang hukum, HAM, dan sebagainya, terhadap sejumlah persoalan yang merupakan substansi pembahasan dalam RUU KUHP.
"Respons dan kritik dari publik menunjukkan masyarakat memberikan perhatian dan mengawal pembahasan RUU KUHP," kata Nasir Djamil di Jakarta, Rabu (28/3).
Respons dan kritik tersebut, pada beberapa persoalan, yakni pidana mati, kriminalisasi terhadap marksisme dan leninisme, penodaan terhadap agama, penghinaan martabat presiden; wakil presiden; serta pemerintah dan lembaga negara, kemudian juga ada respons pada perbuatan zina dan perilaku seks menyimpang. "Itu persoalan-persoalan yang mendapat respons dan kritik dari publik, yang saya catat," katanya.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai, respons dan kritik dari masyarakat menjadi masukan bagi DPR RI untuk dapat melakukan pembahasan secara maksimal. Sehingga diharapkan dapat menghasilkan produk undang-undang yang baik dan dapat menjadi pembaruan hukum nasional.
Nasir menjelaskan, pada pembahasan RUU KUHP tentunya merujuk pada konstitusi Republik Indonesia, bahwa Indonesia adalah negara yang berketuhanan. "Indonesia memiliki Pancasila sebagai falsafah negara," katanya.
Nasir juga melihat, saat ini ada semacam ideologi neolib dari asing yang berusaha masuk ke Indonesia, yakni ideologi yang ingin menghilangkan peran negara dalam melindungi warga negaranya. Padahal, kata dia, Indonesia adalah negara kita negara yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa dan Indonesia juga punya karakter sesuai nilai-nilai luhur Pancasila.
"Karena itu, dalam pembahasan RUU KUHP didasarkan pada konstitusi dan Pancasila," katanya.