REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Hinca Pandjaitan mengungkap partainya tidak sependapat dengan usulan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang (Perppu) atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pilkada. Usulan Perppu Pilkada berkaitan wacana perubahan aturan soal pergantian calon kepala daerah yang berstatus tersangka.
Hinca menegaskan, tidak ada urgensi dari penerbitan Perppu UU Pilkada. Meskipun saat ini terdapat sejumlah calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Namun adanya aturan tidak boleh mengganti atau mengundurkan diri pasangan calon pasca penetapan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi dilematis sejumlah partai politik pendukung.
"Pasal 22 UUD, Perppu itu adalah sesuatu yang sangat mulia dan dia baru akan dikeluarkan saat negara dalam keadaan darurat, pertanyaannya adalah apakah saat ini dalam keadaan darurat, kami tidak melihat urgensi Perppu," kata Hinca di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (28/3).
Menurut Hinca, sekalipun pihaknya memahami bahwa Partai politik dirugikan karena tidak dapat mengganti calon yang berstatus tersangka. Namun perubahan aturan norma sebaiknya tidak menggunakan Perppu.
"Perppu itu hanya dikeluarkan oleh Presiden ketika keadaan itu darurat, kalau satu, dua tiga empat lima orang, dibandingkan 250 juta orang tentu belum seimbang. Tapi ya itu terserah presiden. Kalau presiden ambil Perppu ya tinggal di DPR nanti," ujar Anggota Komisi III DPR tersebut.
Ia melanjutkan, daripada Perppu, partainya lebih setuju jika perubahan aturan menggunakan mekanisme normal yakni revisi UU Pilkada. Meskipun, revisi UU Pilkada akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Karenanya, jika revisi dilakukan sebaiknya untuk Pilkada selanjutnya.
"Sekalipun kita mungkin akan merasa dirugikan kalau ada nanti kader kami juga tapi kita harus kembalikan ke mekanisme konstitusi. Saya lebih cenderung normatif dan proses normal saja untuk proses perbaikan atau revisi UU bukan dengan Perppu," jelasnya.