REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan uji materi UU ITE terkait dengan frasa "antargolongan" dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Uji materi ketentuan ini diajukan oleh Habiburokhman dan Asma Dewi yang menilai adanya kerancuan makna "antargolongan" karena selain dipergunakan dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE, kata "golongan" juga dipergunakan dalam Pasal 156 KUHP.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, Kamis (29/3).
Terhadap dalil para pemohon Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE merupakan peraturan yang sifatnya lebih khusus dibandungkan dengan ketentuan Pasal 156 KUHP. "Keduanya memiliki konteks yang berbeda dan perbedaan demikian dapat dengan mudah diketahui melalui penafsiran kontekstual," kata Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan Mahkamah.
Mahkamah menjelaskan bahwa tampak jelas dalam rumusan masing-masing pasal, dimana Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE mengatur pidana dalam konteks penyebaran informasi elektronik. "Sementara Pasal 156 KUHP menekankan pada pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di muka umum," ujar Suhartoyo.
Oleh sebab itu frasa "antargolongan" dalam UU ITE maupun KUHP tidak menimbulkan kerancuan, karena keduanya memiliki perbedaan konteks, tambah Suhartoyo. Akan tetapi Mahkamah menilai bila penggunaan istilah "antargolongan" dalam Pasal 28 ayat (2), Pasal 45A ayat (2) UU ITE, serta Pasal 156 KUHP menimbulkan kerancuan, maka hal tersebut adalah permasalahan harmonisasi kata.
"Namun tidak mengakibatkan pergeseran arti masing-masing istilah yang ada pada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, sehingga hal itu bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma," pungkas Suhartoyo.