REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2017 guna mengakomodasi pergantian calon kepala daerah (cakada) yang bermasalah justru akan kontraproduktif. Ia mengusulkan revisi UU Pilkada.
"Malah kontraproduktif dan menimbulkan ketidakpastian hukum, kalau ada perubahan PKPU. Kalaupun mau jadikan kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime perubahannya di UU untuk masa mendatang tidak sekarang saat tahapan masa kampanye," katanya kepada Antara di Jakarta, Senin (2/4).
Hal itu dikatakannya menanggapi adanya usulan agar KPU mengubah peraturannya terkait calon kepala daerah yang bermasalah dalam dugaan kasus korupsi. Sehingga, para calon kepala daerah yang bermasalah tetkait hukum teraebut dapat diganti.
Kaka mengatakan, perubahan Peraturan KPU akan membuat adanya dinamika penggantian yang akan berdampak pada proses dan hasil sementara pasangan lain sudah terus melangkah. "Masyarakat juga tak mendapatkan informasi yang utuh karena proses perubahan ini. Belum lagi soal logistik surat suara yang sedang berjalan. Berbeda jika diundangkan jauh hari sebelum tahapan dimulai. Ketentuan hukum bisa mengakomodir semangat anti korupsi sejak awal," katanya.
Dia mengatakan, Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan PKPU Nomor 3 tentang pencalonan Kepala Daerah dalam Pilkada serentak 2018 kali ini telah mengatur dengan baik perihal pencalonan dan penggantian cakada. Calon kepala daerah yang bisa diganti setelah masa penetapan calon kepala daerah dalam pilkada adalah calon kepala daerah yang meninggal dunia atau berhalangan tetap.
Sementara calon kepala daerah yang mengalami masalah hukum, tidak termasuk di dalam kriteria sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang dan maksud dari pembuat undang-undang. Calon kepala daerah yang bermasalah hukum, termasuk yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi, harus diperlakukan sebagaimana kasus hukum pada umumnya, dengan asas praduga tak bersalah, dengan kepastian hukum sampai memiliki kekuatan hukum tetap, sebagai dasar pertimbangan posisinya dalam pencalonan di pilkada.
"Bahwa dalam pelaksanaannya, untuk cakada yang terkena kasus hukum tersebut, mengalami perubahan konstelasi politik dalam pilkada, hal itu merupakan dinamika dalam demokrasi dan pembetantasan korupsi di daerah," katanya.
Selama ini, menurut dia, proses hukum dan proses politik dalam pilkada tetap bisa berjalan dan tidak terjadi kebuntuan hukum. "KPU seyogiyanya tetap konsentrasi pada tugas dan kewenangannya, untuk menyelenggarakan Pilkada serenatk tahun 2018, sampai terpilih kepala daerah di 171 daerah di seluruh Indonesia," katanya.