Selasa 03 Apr 2018 15:11 WIB

Indef: Di Orba Utang untuk Pembangunan, Tapi Didikte

Posisi Indonesia di era orba terlalu lemah dalam hal lobi.

Utang/ilustrasi
Foto: johndillon.ie
Utang/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengemukakan ketika Orde Baru, pengelolaan utang dinilai ketat karena hanya boleh digunakan untuk pembangunan.

"Utang hanya boleh untuk pembiayaan pembangunan, sedangkan untuk gaji pegawai tidak boleh," kata Enny Sri Hartati dalam diskusi di Jakarta, Selasa (3/4).

Enny mengemukakan hal tersebut karena disertasi yang dibuatnya dahulu juga terkait dengan analisis efektivitas kebijakan fiskal pemerintah dari masa ke masa.

Menurut Enny, skema pengelolaan utang yang dilaksanakan pada masa Orde Baru lebih prudent. Namun memang persoalannya untuk penggunaan utang kerap didikte oleh pihak kreditur atau pengutang."Tapi waktu itu kita utang berupa soft loan jangka panjang," papar Direktur Eksekutif Indef.

 

Baca juga,  Utang Pemerintah dan Aset Negara.

 

Sejumlah permasalahan yang muncul dalam pengelolaan utang ketika itu antara lain posisi Indonesia lemah dalam hal lobi dan mengajukan kesepakatan perjanjian baik bilateral maupun multilateral, serta terjadi kebocoran dalam pengelolaan utang.

Dengan demikian, lanjutnya, memang persoalan utang memang sudah terjadi sejak lama. Ia memaparkan, sejak reformasi hingga masa pemerintahan SBY, perekonomian nasional dibantu kondisi global terutama karena ramainya iklim quantitative easing atau pelonggaran moneter.

Namun permasalahannya, menurut dia, derasnya aliran uang yang masuk ke dalam negeri tidak benar-benar digunakan untuk mengangkat produktivitas perekonomian bangsa.

Sebagaimana ramai diberitakan di sejumlah media, utang pemerintah jumlahnya mencapai Rp4.034,8 triliun pada akhir Februari 2018.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan hingga akhir Februari 2018, sebagian besar utang pemerintah masih didominasi oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.257,26 triliun atau 80,73 persen dari total utang pemerintah.

Penerbitan SBN sekitar Rp2.359,47 triliun atau 62,62 persen diterbitkan dalam denominasi rupiah serta dalam denominasi valas sebesar Rp897,78 triliun atau 18,11 persen. Selain penerbitan SBN, pembiayaan utang tersebut juga berasal dari pinjaman luar negeri pemerintah dengan porsi mencapai Rp777,54 triliun atau 19,27 persen.

Utang yang dalam bentuk pinjaman ini terbagi dari pinjaman luar negeri sebesar Rp771,6 triliun atau 19,13 persen dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp5,78 triliun atau 0,14 persen.

Menurut data Bank Dunia, rasio utang pemerintah terhadap PDB Singapura sebesar 117,2 persen pada 2016. Sementara rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia tercatat 31,4 persen di tahun yang sama.

Sedangkan batas maksimum utang pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 adalah 60 persen terhadap PDB.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement