Rabu 04 Apr 2018 09:09 WIB

'Kultur Musyawarah Mufakat di Indonesia Meluntur'

Zaman dulu musyawarah sudah menjadi jalan tengah dalam menghadapi masalah sehari-hari

Penasehat Forum Renovasi Indonesia lily Wahid (kanan) berbicara saat konfrensi pers di Jakarta, Rabu (18/3).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Penasehat Forum Renovasi Indonesia lily Wahid (kanan) berbicara saat konfrensi pers di Jakarta, Rabu (18/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsepsi musyawarah mufakat sebagai falsafah bangsa telah tumbuh di masyarakat Indonesia sebelum bangsa ini merdeka. Kultur ini telah menjadikan bangsa Indonesia sempat menjadi lima besar negara terdemokratis di dunia. Namun, sekarang kultur ini sudah mulai ditingganggalkan dan masyarakat lebih memilih sistem voting.

“Saya prihatin musyawarah mufakat bukan lagi jadi bagian dari masyarakat kita. Sekarang masyarakat lebih menyetujui suara terbanyak daripada kesepakatan bersama dan itu menjadi sesuatu yang berbahaya bagi bangsa ini karena masyarakat sekarang ini sedang berada di titik yang kalau kamu tidak sependapat sama saya, berarti kamu bukan teman saya,” ujar Lily Wahid, mantan anggota Komisi I DPR RI di Jakarta, dalam siaran persnya, Selasa (3/4).

Lebih lanjut, cucu Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari ini menerangkan bahwa zaman dulu musyawarah sudah menjadi jalan tengah dalam menghadapi masalah sehari-hari. Berbagai problem di tengah masyarakat diperbincangkan bersama dan mencari solusi yang terbaik.

Saat ini kondisi masyarakat telah berbeda dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan diselesaikan dengan cara voting, tanpa memikirkan maslahat untuk masyarakat. Kultur musyawarah mufakat telah menjadi landasan negara yang ditinggalkan baik dalam pemerintah maupun masyarakat.

“Masyarakat terkadang juga tidak mampu menyelesaikan persoalan perbedaan karena lunturnya kultur musyawarah. Adanya perbedaan ekonomi menjadikan suatu alasan mengapa perbedaan agama menjadi sesuatu yang diributkan. Seperti penyerangan rumah ibadah dan sebagainya yang terjadi 10 terakhir terjadi. Mungkin dulu ada juga, tapi itu karena hanya emosi sesaat dan hanya di suatu daerah saja, bukan yang menjadi berita nasional seperti saat ini,” kata perempuan kelahiran Jombang ini.

Lily menilai kondisi rentannya perpecahan di tengah masyarakat karena komunikasi dalam anggota masyarakat tidak banyak lagi diselesaikan dengan musyawarah. Salah satu imbasnya sekarang radikalisme dan terorisme semakin subur karena tidak ada wadah untuk mengutarakan pendapat dalam diskusi bersama.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement