REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta PT Pertamina (Persero) melakukan pemantauan udara di perairan Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Pemantauan udara tersebut terutama dilakukan terhadap rumah-rumah panggung penduduk pesisir akibat tumpahnya minyak mentah.
Dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (7/4), Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan saat ini di beberapa area teluk, khususnya permukiman, tumpahan minyak sudah menyebar ke rumah panggung masyarakat dan lepasnya zat Volatile Organic Compound (VOC) ke udara juga menimbulkan bau tajam yang bisa mengganggu kesehatan masyarakat.
"Kami minta Pertamina segera melakukan pemantauan udara khususnya pada rumah panggung. Mereka juga harus mencari teknik untuk segera membersihkan tumpahan minyak yang menempel di rumah penduduk," kata Rasio.
Ia menjelaskan hasil analisis citra satelit oleh Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) memperlihatkan saat ini lebih dari 13 ribu hektare area sekitar Telik Balikpapan mengandung lapisan film minyak. Meski demikian, KLHK menyatakan tumpahan minyak akibat putusnya pipa bawah laut terminal Lawe-lawe ke fasilitas refinery Pertamina mulai berkurang, namun penyebaran minyak yang dipengaruhi arus air, juga meluas.
"Saat ini tumpahan minyak mulai berkurang dari sisi ketebalan lapisan, tetapi karena dinamika minyak di atas air, penyebarannya juga masih meluas. Kami melihat masih ada beberapa spot minyak yang masih tebal dari atas satelit," kata Rasio.
KLHK memastikan Pertamina harus bertanggung jawab akibat pencemaran lingkungan yang tidak hanya merugikan dari sisi ekonomi, sosial masyarakat, juga lingkungan hidup terkait kematian biota laut yang terdampak akibat tumpahan minyak ini.
Putusnya pipa distribusi di perairan Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, pada Rabu (4/4), menyebabkan minyak mentah bocor dan tumpah mengotori area seluas 7.000 hektare, dengan panjang pantai terdampak di sisi Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara mencapai sekitar 60 kilometer.
KLHK mencatat ekosistem terdampak berupa tanaman mangrove seluas 34 ha di Kelurahan Kariangau, serta 6.000 tanaman mangrove dan 2.000 bibit mangrove di Kampung Atas Air Margasari.