REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Paramadina Toto Sugiarto menilai kesamaan kandidat calon presiden (capres) yang bertarung pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 dan 2014 bukan suatu kemunduran demokrasi. Justru, menurut dia, itu menunjukkan kondisi politik yang sebenarnya.
"Wajar jika pejawat ingin melanjutkan kekuasaannya. Di semua negara pun begitu. Mantan capres yang masih memungkinkan untuk nyapres pun bisa mencalonkan kembali. Jadi, di sini tidak bisa dibilang kemunduran atau kemajuan. Ini real politik," kata dia, Kamis (12/4).
Toto melanjutkan, orang yang menjadi capres memang harus memiliki kekuatan besar dan tidak bisa sekadar sosok yang tanggung dari sisi keterkenalan dan elektabilitas. Karena itu, pilpres menjadi arena bagi tokoh-tokoh yang paling "berkuasa" untuk saat ini.
"Orang yang punya power tinggi yang mungkin mencalonkan diri di bursa capres. Tidak mungkin tokoh-tokoh pertengahan. Tidak bisa dibayangkan misalnya ada sosok yang tanggung terus nyapres, ini enggak mungkin, apalagi belum punya rekam jejak yang baik. Saya kira itu mimpi. Arena pilpres adalah arena yang sudah teruji," ujarnya.
Karena itu, Toto berpendapat, hal biasa jika kandidat capres pada pilpres 2019 itu sama dengan kandidat capres pada pilpres 2014. "Itu artinya generasinya memang belum berubah. Di situ terlihat bahwa untuk level paling atas itu belum berubah," ujar dia.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada Rabu (11/4) kemarin dideklarasikan untuk maju menjadi capres 2019. Jauh sebelumnya, PDIP telah resmi mengusung kembali Joko Widodo sebagai capres pejawat pada pilpres 2019.