REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duel antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto diprediksi akan kembali terjadi saat pemilihan presiden (pilpres) 2019 nanti. Bahkan, menurut pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio, Prabowo berpeluang besar mengalahkan Jokowi jika elektabilitasnya tinggi.
"Jarak (elektabilitas) antara Jokowi dan Probowo 20 dan 25 persen. Makanya, hasil ini hanya akan berubah bila tiga hal terjadi," ujar Hendri kepada Republika.co.id, Kamis (12/4).
Pertama, ada perubahan peta politik setelah pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018. Artinya, terang Hendri, banyak calon yang diusung Gerindra dan PKS berhasil menang pada pilkada 2018.
Alasan kedua, apabila Prabowo tepat dalam memilih calon wakil presiden (cawapres), sedangkan Jokowi kurang tepat memilih cawapres. Dengan demikian, Prabowo berpeluang mengalahkan Jokowi.
"Tapi kalau hasil pilkada 2018 ini sama saja, artinya banyak pendukung Jokowi yang menang dan kemudian Jokowi tepat memilih wakil presiden maka hasilnya (akan) sama dengan 2014," ujar Hendri.
Kemudian, alasan ketiga, terbentuknya koalisi poros ketiga. Hadirnya poros ketiga ini, Hendri menilai, dapat memecah belah suara.
"Ini berpeluang untuk memecah suara dan biasanya kalau ada perpecahan suara maka peluang kembali menjadi 50:50," ujar Hendri.
Tiga alasan ini, dalam sudut pandang Hendri, bisa mengubah peta pilpres dan mengubah nasib Prabowo agar tidak lagi kalah oleh Jokowi. Namun, ada satu hal lagi yang tidak boleh luput, yakni para pemilih pemula yang baru akan mengikuti Pemilu 2019 nanti.
"Jadi, tiga alasan itu saja yang bisa mengubah peta atau hasil 2019 sehingga tidak sama dengan 2014, walaupun kita juga harus menghitung pergerakan dan penilaian masyarakat terhadap kinerja Jokowi dan beberapa jutaan pemilih pemula yang baru saja mengikuti pemilu," kata dia.