Jumat 13 Apr 2018 16:43 WIB

Sempat Menangis, JPU: Kita Tolak Semua Pembelaan Setnov

Keberatan Setnov soal pemblokiran rekening dan hak politik akan diputuskan hakim

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa Kasus Korupsi Pengadaan KTP elektronik Setya Novanto mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (13/4). Sidang tersebut mengagendakan pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari terdakwa dan penasihat hukum.
Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Terdakwa Kasus Korupsi Pengadaan KTP elektronik Setya Novanto mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (13/4). Sidang tersebut mengagendakan pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari terdakwa dan penasihat hukum.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Walaupun Setnov sempat menangis, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdul Basyir, mengatakan pihaknya tetap menolak pleidoi yang telah dibacakan oleh terdakwa kasus korupsi KTP-el, Setya Novanto (Setnov). Argumen dari pihak Setnov dianggap tidak sesuai.

"Hukum harus humanis. Secara manusiawi kita juga punya perasaan sebagai manusia, sama lah. Tapi karena argumen-argumen yang diajukan penasehat hukum nggak pas, jadi kita menolak semua pembelaan," papar Basyir saat ditemui usai sidang di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Jakarta Pusat, Jumat (13/4).

Adapun terkait pembelaan-pembelaan yang diajukan Setnov, di antaranya adalah pembukaan blokir rekening terhadap keluarganya, karena keluarganya masih membutuhkan biaya hidup. Kemudian, Setnov juga ingin agar usai selesai masa hukumnya, hak berpolitiknya pun tidak dicabut.

"Untuk pembukaan blokir, kita lihat putusannya kayak apa. Kita lihat putusannya, enggak bisa sekarang. Lalu pencabutan hak politik kan masuk dalam materi kita, nanti majelis hakim akan tentukan," ujar Basyir.

Selaku JPU, Basyir juga menginginkan agar tuntutan dari pihaknya bisa dikabulkan, karena pleidoi yang diungkapkan oleh Setnov dianggap tidak pas.

Untuk diketahui dalam perkara ini, Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan pembayaran uang pengganti sejumlah 7,435 juta dolar AS, dan dikurangi Rp 5 miliar seperti yang sudah dikembalikan Setnov (sekitar Rp 66,3 miliar dalam kurs pada 2012) subsider 3 tahun penjara.

KPK juga menolak permohonan Setnov untuk menjadi "justice collaborator" (JC) dan meminta agar hakim mencabut hak Setnov untuk menduduki jabatan publik selama 5 tahun setelah selesai menjalani masa pemindaan. Setnov juga membantah menjadi pihak yang paling diuntungkan dari penerimaan uang melalui keponakannya Irvanto Hendra, Pambudi Cahyo, dan rekannya sesama pengusaha, Made Oka Masagung. Lalu, ia juga membantah mempengaruhi para pejabat Kementerian Dalam Negeri dalam proyek KTP-el tersebut.

Ia juga membantah mempersiapkan Rp 20 miliar agar terhindar dari penyidikan KPK, dan mengaku bahwa anggaran KTP-el tidak dapat diintervensi oleh dirinya selaku Ketua Fraksi Partai Golkar saat itu, karena satu fraksi tidak bisa mempengaruhi anggaran. Meski demikian, Setnov meminta maaf atas perbuatannya dalam proyek KTP-El itu.

"Saya minta maaf kepada seluruh anggota DPR RI, masyarakat Indonesia yang saya sudah semaksimal mungkin. Tentu saya minta maaf kalau ini sebagai manusia biasa dianggap salah saya mohon maaf sebesar-besarnya," kata Setnov.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement