Jumat 27 Apr 2018 23:39 WIB

Almarhum Mbah Din Buntet Tiba di Indonesia Ahad

Nahdi melihat sosok ayahnya sebagai orang yang banyak membantu kesulitan orang lain.

Red: EH Ismail
KH Nahduddin Royandi Abbas (Mbah Din, tengah berpeci hitam) saat bersilaturahim dengan Majelis Ilmu dan Dzikir Sembilan Bintang Masjid Islamadina di Buntet Pesantren, April 2017.
Foto: Republika/EH Ismail
KH Nahduddin Royandi Abbas (Mbah Din, tengah berpeci hitam) saat bersilaturahim dengan Majelis Ilmu dan Dzikir Sembilan Bintang Masjid Islamadina di Buntet Pesantren, April 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Almarhum sesepuh Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, KH Nahduddin Royandi Abbas (Mbah Din) akan dimakamkan di pemakaman Buntet pada Ahad (29/4). Mbah Din adalah putra terakhir sang pahlawan 10 November, Kiai Abbas bin Abdul Jamil yang juga salah seorang ulama legendaris Nahdlatul Ulama (NU).

Sebelum wafat, Kiai berusia 84 tahun itu memang telah dirawat intensif di Barnet Community Hospital. Mbah Din menjalani masa kritisnya selama beberapa hari terakhir. Saat ini, jenazah Mbah Din yang wafat pada Rabu (25/4) malam masih berada di London, Inggris.

“Insya Allah sedang diurus pemulangannya dan menurut rencana tiba di Indonesia besok Ahad (29/4) sore,” ujar putra tunggal Mbah Din, Nahdi Sastraprawira Abbas, kepada Republika.co.id, Jumat (27/4).

Nahdi menjelaskan, Mbah Din sudah lama berpesan ingin dikebumikan di Buntet apabila wafat. Sebagai putra tunggal almarhum, dia merasa harus melaksanakan pesan ayahandanya tersebut.

“Papa sudah lama bicara ingin dimakamkan di Buntet, di pemakaman dekat dengan keluarganya. Jadi, ini wasiat yang wajib saya laksanakan,” kata pria yang akrab disapa Buyung ini.

Nahdi yang lahir dan besar di London sampai usia 25 tahun bercerita, dia banyak mengetahui kiprah dan sejarah ayahnya justru dari banyak orang. Kendati hanya tinggal berdua di London sejak kecil sampai dewasa, Nahdi tak banyak diberi tahu sang ayah mengenai hal-hal yang dilakukan di luar rumah.

“Kalau sama saya, ya bicara sebagaimana antara anak dan ayah saja. Saya tahu banyak mengenai papa justru dari orang lain.”

Menurut Nahdi, Mbah Din adalah ayah sekaligus teman yang mendampingi dia sampai dewasa. Maklum, Mbah Din bercerai dengan istri atau ibunda kandung Nahdi sejak Nahdi masih berusia dua tahun. “Saya masih kecil sekali. Mungkin umur 1-2 tahun, papa sudah cerai. Ya sejak itu saya hanya berdua sama papa.”

Kendati sudah bercerai, sampai saat ini hubungan silaturahim antara Nahdi, Mbah Din, dan ibunda masih baik-baik saja. Mengenai sang ibunda, Nahdi menjelaskan, istri pertama Mbah Din yang bernama Marie France Rabet itu merupakan wanita berdarah campuran Prancis dan Norwegia. Mbah Din menikah dengan Marie saat wanita keturunan bangsawan itu masih menjadi mahasiswa di London Art of School.

“Waktu itu, menurut cerita papa, papa masih menjadi local staff di KBRI London,” ujar Nahdi.

Tak lama setelah melahirkan Nahdi, Mbah Din dan Marie justru bercerai. Sejak itu, Mbah Din memutuskan membesarkan Nahdi sambil bekerja dan tidak menikah lagi. Belasan tahun berlalu, Mbah Din baru menikah lagi dengan keluarga Kiai dari Klaten, Jawa Tengah, dengan bantuan keluarga besar Kiai Abbas Buntet Pesantren. Istri kedua Mbah Din sudah mempunyai seorang anak.

“Jadi, kalau ditanya anaknya papa ada berapa? Ya, saya anak tunggalnya. Saudara tiri saya kan sudah ada waktu papa menikah kedua kali,” kata Nahdi.

Hal lain yang sangat berkesan di ingatan Nahdi adalah kebiasaan Mbah Din yang selalu mengirim anaknya berlibur ke Buntet Pesantren saat liburan musim panas. Di Inggris, liburan musim panas berlangsung cukup lama, yakni sekitar tiga bulan. Selama itulah, kata Nahdi, dia dikirim ke Buntet untuk mengenal lingkungan kehidupan orang tuanya dan juga mengenal kehidupan di Buntet Pesantren.

“Dulu saya ingat sekali disunat di sana, naik kerbau, belajar baca (Alquran), dan lain-lain banyak sekali. Tapi, saya tidak merasa sebagai bule di sana. Ya orang-orang saja lihatnya saya bule, tapi saya tidak merasa begitu,” ujar Nahdi.

Pria yang kini bekerja di AON Indonesia ini melanjutkan, banyak pelajaran berharga yang diambil dari sang ayah selama bertahun-tahun hanya tinggal berduaan. Mbah Din selalu mengajarkan kemandirian yang sampai sekarang menjadi prinsip hidup sehari-hari Nahdi. Selain itu, Nahdi melihat sosok sang ayah sebagai orang yang ringan membantu kesulitan orang lain dan selalu welcome terhadap siapa saja.

“Papa bantu banyak orang, padahal nggak punya rumah mewah, mobil mewah. Itu yang dia ajarkan, hidup sederhana. Nggak terlalu penting kemewahan itu,” kata Nahdi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement