REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setya Novanto (Setnov) memutuskan untuk tak mengajukan banding atas putusan majelis hakim tindak pidana korupsi (tipikor). Mantan Ketua DPR RI itu siap menerima segala konsekuensi dari putusan tersebut.
"Betul, beliau tidak ajukan banding. Sudah disampaikan ke PN (Pengadilan Negeri) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," ujar Kuasa Hukum Setnov Maqdir Ismail saat dihubungi Republika, Rabu (2/5).
Menurut Maqdir, keputusan tersebut diambil mantan Ketua Umum Partai Golkar itu setelah melalukan musyawarah dengan seluruh keluarganya. Setnov dan keluarga, kata dia, sudah merasa lelah dengan perjalanan perkara kasus korupsi KTP-el yang menjeratnya itu.
"Mereka mau lihat perkara ini lebih jernih dengan menerima putusan," tutur Maqdir.
Dengan demikian, Maqdir menjelaskan, kliennya itu sudah siap menghadapi segala konsekuensi dari putusan yang dibacakan pada 24 April lalu itu. Dia menuturkan, terkait langkah hukum lain, pihaknya belum melakukan diskusi untuk hal itu.
"Harus lihat dan cermati putusan perkara yang lain," ungkapnya.
Di samping itu, kuasa hukum Setnov lainnya, Firman Wijaya, menyebutkan, alasan kliennya tak mengajukan banding yakni karena melihat risiko politis dan yuridis yang tinggi. Di samping itu, pihaknya juga mempertimbangkan alasan banding dalam ketentuan pasal 66 jo 240 KUHP, yakni pengadilan banding sama saja dengan Pengadilan Tinggi sebagai judex factie,
"(Akan) tetap ikuti proses hukum termasuk upaya JC (justice collabolator)," jelas Firman.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Setnov yang menjadi terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan KTP-el. Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut Setnov dengan hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
"Menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun denda Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti kurungan pidana selama tiga bulan," ujar ketua majelis hakim Yanto di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Senin (24/4).
Majelis hakim menilai semua unsur pasal tindak pidana korupsi telah terpenuhi, yakni merugikan negara dan memperkaya diri sendiri dengan mendapatkan komisi fee dari proyek KTP-el dan menyalahgunakan wewenang karena jabatan atau kedudukan. Setnov dinilai menggunakan kewenangan atau jabatan untuk tujuan lain demi menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Majelis hakim tetap mewajibkan Novanto membayar uang pengganti sesuai dengan uang yang ia terima yaitu 7,435 juta dolar AS dan dikurangi Rp 5 miliar yang sudah dikembalikan Setnov ke KPK. Selain itu, Novanto juga dikenakan hukuman tambahan, yakni hak politik dicabut dan tidak bisa lagi menduduki jabatan publik selama lima tahun.