REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Tika Bisono menjelaskan, sistem logika memiliki peranan penting apakah seseorang mudah terdoktrin terhadap suatu teori atau tidak. Manusia dengan pemahaman lemah, tidak bisa berargumentasi secara logika, cenderung mudah diajak melakukan hal-hal yang sifatnya kejahatan. Tidak jarang, mereka menganggap tindakan tersebut sebagai kebaikan.
Tika menjelaskan, seseorang dengan sistem logika yang mudah dibalik-balik menjadi target utama doktrin. Ini tidak terkait dengan intelligence quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual.
"Banyak sarjana, master, bahkan doktor mudah dipengaruhi," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (15/5).
Cara berpikir mereka cenderung terbalik, entah itu saat menerjemahkan sendiri ke pola pikir mereka atau ada orang yang lihai membolak-balikkan pola pikir. Akibatnya, mereka kerap salah persepsi, termasuk menganggap kejahatan menjadi kebaikan.
Misalnya, memiliki persepsi bahwa bom bunuh diri merupakan cara baik demi banyak orang. Seseorang yang sudah terdoktrin sudah tidak memiliki lagi batasan yang jelas terkait realita dengan nonrealita dan fakta dengan nonfakta. Pola pikir mereka telah dikorbankan untuk sudut pandang yang belum tentu benar.
"Mereka seperti lost in space, tidak memiliki pegangan kecuali doktrin itu sendiri," ucap Tika yang mengajar di Universitas Mercu Buana, Jakarta, itu.
Masuknya doktrin ini bisa melalui berbagai cara, termasuk lewat komunitas terdekat. Karena sudah terbiasa beinteraksi dan menganggap komunitas tersebut benar dalam segala hal, kekuatan doktrin pada seseorang makin kuat.
Tika menjelaskan, untuk mengantisipasi doktrin-doktrin yang berkembang, peran keluarga dan pemerintah harus lebih diintensifkan. "Sementara keluarga berperan dalam urusan pengawasan sebagai komunitas terkecil, pemerintah wajib melindungi dalam sistem pendidikan dan perundangan," tuturnya.