REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan korporasi sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap sebagai kemajuan. Namun, hal ini dianggap langkah awal yang perlu diikuti prosesnya ke depan.
"Itu bagus. Ini kemajuan luar biasa dalam pemberantasan TPPU. Saya pikir kita patut berbangga," ujar Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Hifdzil Alim, Jumat (18/5).
Kendati demikian, Hifdzil menuturkan, apa yang baru saja dilakukan KPK itu masih langkah awal yang perlu diikuti prosesnya. Menurutnya lagi, hal yang baru ini dapat dijadikan sebagai peringatan dari KPK untuk korporasi agar tidak melakukan TPPU.
"Jika ini berhasil, maka akan jadi preseden untuk bisa menjerat korporasi lain yang diduga melakukan TPPU," katanya.
KPK hari ini mengumumkan temuan dugaan TPPU yang dilakukan oleh PT Tradha. Dugaan TPPU ini terkait dentan kasus yang menimpa Bupati Kebumen nonaktif Mohammad Yahya Fuad.
"Berdasarkan pengembangan penyidikan perkara sebelumnya, KPK menemukan dugaan TPPU yang dilakukan oleh sebuah korporasi," terang Komisioner KPK Laode M Syarif saat menggelar konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (18/5).
Dugaan itu ditemukan setelah KPK melakukan pengembangan penyidikan kasus suap pengadaan barang dan jasa dana APBD Kabupaten Kebumen Tahun Anggaran 2016. Dari pengembangan itu, KPK menemukan fakta dugaan, Yahya merupakan pengendali PT Putra Ramadhan atau PT Tradha.
Perusahaan itu secara langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pengadaan proyek di Pemkab Kebumen. Ikut dengan meminjam 'bendera' lima perusahaan lain untuk menyembunyikan atau menyamarkan identitas.
"Sehingga, seolah-olah bukan PT Thrada yang mengikuti lelang. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan menghindari dugaan tindak pidama korupsi berupa kepentingam dalam pengadaan," terangnya.