Senin 21 May 2018 14:03 WIB

Peliknya Penuntasan Pelanggaran HAM Pascareformasi

Masih banyak kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang belum tuntas.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Komnas HAM
Foto: Antara/Reno Esnir
Komnas HAM

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komnas HAM Amirudin Al Rahab mengatakan hingga saat ini memang masih banyak kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang belum tuntas. Di antaranya, peristiwa Talangsari di Lampung, peristiwa September 1965, peristiwa Semanggi I dan II, Tanjung Priok, Trisakti, dan juga kasus penghilangan aktivis 1997-1998.

"Tapi memang ada kendala di teknis hukumnya. Jadi kita sudah menyelesaikan tugas kita dalam hal penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM ini, tapi saat dilimpahkan berkas penyelidikannya ke Kejaksaaan, ada persoalan yang lebih kepada teknis hukum," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (21/5).

Amirudin menuturkan, masalah teknis yang dihadapi ini misalnya soal visum. Komnas HAM dalam sebuah penyelidikan telah meyakini ada peristiwa pelanggaran HAM. Namun di sisi lain, saat penyelidikan selesai lalu berkas dilimpahkan ke Kejaksaan, penyidik di Kejaksaan tersebut meminta visum dari korban.

Permintaan visum oleh pihak Kejaksaan itu sulit dipenuhi Komnas HAM karena peristiwa yang diusut terjadi pada masa lampau. Sedangkan, saat peristiwa pelanggaran HAM terjadi, belum ada penggunaan visum. Apalagi lokasi terjadinya peristiwa berada di kampung terpencil sehingga tidak ada langkah visum saat itu.

Dan, pada peristiwa tertentu, visum memang sudah digunakan tapi terbentur peraturan. Sebab ada peraturan bahwa visum berlaku selama lima tahun. Melebihi itu, dimusnahkan. Akibatnya, ketika Komnas HAM meminta visum ke sebuah rumah sakit untuk penyelidikan, visum tersebut pun telah dimusnahkan.

Terpisah, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga menambahkan, persoalan teknis lain yang membuat hasil penyelidikan Komnas HAM belum juga disidik Kejaksaan, yakni terkait sumpah jabatan penyelidik Komnas HAM. Kejaksaan menganggap penyelidik Komnas HAM belum disumpah sehingga berkas kasus tidak ditindaklanjuti.

Selain itu, Sandra menjelaskan, masalah teknis lain yang menghambat penuntasan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yaitu soal kehadiran saksi. Komnas HAM dalam penyelidikannya mendapat informasi dari saksi seorang jenderal kala itu terkait kebenaran peristiwa.

Ketika berkas berada di Kejaksaan, penyidik meminta agar jenderal tersebut didatangkan. Komnas HAM, dalam situasi ini, tidak berwenang melakukan pemanggilan paksa terhadap jenderal tersebut. Hingga akhirnya, Komnas HAM meminta izin kepada pihak pengadilan untuk melakukan pemanggilan paksa. Namun pengadilan tidak pernah mengizinkannya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement