Rabu 23 May 2018 00:15 WIB

Makna Teroris Digugat

Arti terorisme dalam draf revisi UU dinilai masih ambigu.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Teguh Firmansyah
Teroris (ilustrasi)
Teroris (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makna terorisme dalam draf revisi UU Antiterorisme memicu perdebatan publik. Siapa yang bisa disebut teroris dan bagaimana tindakan terorisme itu dimaksud? Apakah aksi kriminal biasa bisa dikatakan teroris atau ada kejahatan khusus?

Pengamat terorisme yang juga merupakan Direktur The Community Ideological Islamist Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menyebut definisi ‘terorisme’ dalam draft revisi UU Antiterorisme termasuk ambigu dan multitafsir. Revisi itu direncanakan akan dibahas oleh DPR pada Rabu (23/5).

“Definisi yang ambigu dan multitafsir. Sangat berpotensi terjadinya abusse of power,” kata Harits saat dikonfirmasi oleh Republika.co.id, Selasa (22/5).

Dia mengatakan, definisi tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan subjektivitas oleh pihak aparat hukum. Hal itu, kata dia, juga akan menjadi sumber bencana baru dalam penegakkan hukum.

Dalam Pasal 6, kata dia, definisi disebutkan teroris merupakan setiap orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas; menimbulkan korban yang bersifat massal, merampas kemerdekaan, atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan/atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Obyek Vital yang Strategis, lingkungan hidup, Fasilitas Publik, dan/atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Dengan definisi tersebut, kata dia, hukum ini bisa menyasar kepada siapa saja. Tidak secara khusus kepada teroris itu sendiri. “Para preman juga aksinya bisa dikenakan hukum ini. Bahkan para perusuh dalam skala masal karena sebab apapun juga bisa di jangkaukan UU ini. Parameter yang absurd soal terorisme akan melahirkan presedent buruk dalam criminal justice system,” ungkapnya.

Dia pun mengkritisi pasal berikutnya, yakni pasal 13A dalam draft RUU Anti Terorisme tersebut mengenai setiap orang yang memiliki hubungan dengan jaringan terorisme, akan mendapatkan hukuman pidana paling lama lima tahun. Dia menyebut kata 'hubungan’ bermakna sangat luas.

“Kata ‘hubungan’ bermakna sangat luas, bisa hubungan sekedar kenal, hubungan teman sekolah, tetangga dan lain-lain. Hal ini menjadi sangat subyektif dan dapat ditafsirkan secara luas. Sehingga berpotensi menjadi pasal karet,” kata dia.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement