REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Kepala Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenpolhukam) RI, Inspektur Jenderal (Purn) Ansyaad Mbai, menjelaskan alasan Polri mengajukan revisi Undang-Undang Terorisme. Menurutnya terorisme merupakan ancaman nyata.
"Kita sama tahu itu teroris. Sekarang ini yang kita hadapi ancaman nyata, saya kira Kapolri juga sudah menjelaskan di televisi. Itulah sebabnya Polri mengajukan, tolong UU (tentang terorisme) diubah," papar Ansyaad saat hadiri acara di Balai Pertemuan Metro Jaya (BPMJ), Kamis (24/5).
Dalam paparannya, ia menyebutkan, Polri telah mengatakan ada sekitar 600 WNI (warga negara Indonesia) yang tergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak. Mereka yang termasuk dalam 600 ini, menurut Istilah PBB, tergolong FTR (Foreign Teroris Fighter).
Tetapi data tersebut, merupakan data yang disebutkan pada tiga bulan yang lalu. Dari sekian FTR, kurang lebih ada 100 orang yang mereka anggap sudah syahid, atau istilahnya, sudah mati, termasuk bunuh diri.
Sementara itu, lanjutnya, kurang lebih ada 70 orang yang disebut-sebut telah pulang ke Indonesia, tetapi info ini masih belum pasti. Kemudian dari 70 orang itu, sudah ada yang ditangkap belasan orang. Beberapa di antaranya, menurut dia, ada yang ditangani oleh Polda Metro Jaya.
"Dari belasan yang ditangkap itu, cuma dua orang yang bisa dihukum, itu pun karena sebelumnya mereka ada kasus lain. Lalu untuk yang lainnya (tidak tahu dimana)," jelas mantan Wakil Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) itu.
Kemudian, di Indonesia juga ada jaringan dari JI, JAT, JAD, dan bahayanya mereka masih tetap aktif, memang sudah banyak yang ditangkap. Ia menambahkan sudah sekitar ada seribu orang lebih, tapi masih banyak juga aktif. Mengapa? Karena dulu orang-orang itu diketahui JI, JAT, JAD, tetapi tidak bisa dipidana.
Berdasarkan pemaparan itu lah, Polri akhirnya meminta agar Undang-Undang terorisme di revisi. Karena tidak ada payung hukum, dan itulah yang menjadi fokus UU Terorisme.
"Saya kira kita perlu memperhatikan itu. Ini ada apa? Maksud UU diajukan, direvisi agar selama ini kita reaktif, kalau terjadi bom mulai, terlalu lambat. Kenapa kita tidak tangkap orang itu sebelum dia melakukan? Kalau dia jelas masuk jaringan itu. Itu masuk revisi," kata Ansyaad.
Sebelumnya Panitia Khusus Revisi Undang-undang Antiterorisme bersama pemerintah menyepakati Revisi Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pansus DPR dan pemerintah menyepakati poin definisi terorisme alternatif kedua yang menyertakan frasa motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan sebagai definisi terorisme.
Poin definisi terorisme sendiri, selama ini menjadi ganjalan terselesaikannya Revisi UU tersebut. Keputusan itu didapat dalam Rapat Kerja Pansus Revisi Undang undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan Menteri Hukum dan HAM, Kamis (24/5) malam.
"Alhamdulilah, berarti kita akan mengambil keputusan bahwa Revisi Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kita setujui untuk dilanjutkan pada pembicaraan tingkat dua dalam Rapat Paripurna," ujar Ketua Pansus Revisi UU Antiterorisme Muhammad Syafii di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/5).