Rabu 30 May 2018 23:12 WIB

BPOM: Label 18+ di Rokok tak Bermakna Apa-Apa

Rokok masih mudah dijangkau dan dibeli oleh anak-anak.

Rep: Silvy Dian Setiawan, Antara/ Red: Andri Saubani
Ilustrasi rokok. (Republika/Edi Yusuf)
Foto: Republika/Edi Yusuf
Ilustrasi rokok. (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menilai pelabelan logo 18+ sebagai tanda produk rokok hanya boleh dibeli oleh pembeli di atas usia 18 tahun tidak berdampak signifikan bagi konsumen belum dewasa. Alasannya, rokok masih mudah dijangkau oleh anak-anak.

"Label 18+ tidak bermakna apa-apa, walaupun pencantuman ada, tapi tidak berdampak signifikan. Masih bisa dijangkau anak-anak," kata Kasubdit Pengawasan Produk Tembakau BPOM Moriana Hutabarat di Jakarta, Rabu (30/5).

Menurut dia, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan tidak mengatur tentang pengawasan pembelian produk tembakau di lapangan. Moriana menjelaskan BPOM dalam hal ini hanya bertugas mengawasi apakah suatu produk rokok sudah mencantumkan label 18+ di kemasannya atau tidak.

Sementara, siapa yang mengawasi dan siapa yang menindak apabila ada pelanggaran penjualan rokok kepada pembeli di bawah 18 tahun tidak disebutkan. Sedangkan pemerintah daerah, kata Moriana, hanya mengatur kawasan tanpa rokok dan pelarangan iklan rokok di tempat umum.

Menurut dia seharusnya akses penjualan rokok dibatasi layaknya minuman beralkohol. "Penjualannya tidak di semua tempat, by request, disimpan di tempat terkunci," kata Moriana.

Yayasan Lentera Anak bersama Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) Warrior mengemukakan hasil survei yang membuktikan rokok masih terjangkau oleh anak-anak, walaupun tarif cukai telah naik. Dalam rangka memperingati hari tanpa tembakau sedunia, temuan lapangan mengenai harga rokok yang dilakukan di 19 kota, yang merupakan hasil dari pantauan 21 anak muda terhadap 10 merek rokok diungkap.

Latar belakangnya dilakukan survei, tak lain karena peraturan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan tarif cukai rokok sebesar 10,04 persen. Pemantauan harga rokok dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada Desember 2017 dan Februari 2018 di 46 warung yang sama. Ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kenaikan harga rokok di lapangan pascakenaikan tarif cukai rokok.

"Pada tanggal 9 November 2017 lalu, Kementerian Keuangan melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Keuangan tentang tarif cukai hasil tembakau dengan mengundang kelompok masyarakat termasuk kelompok anak muda. Kami sangat antusias dan mengapresiasi keterbukaan Kementerian Keuangan," kata Program Officer Lentera Anak, Iman Mahaputra Zein di Hotel Ibis Jakarta Tamarin, Jakarta Pusat, Rabu (30/5).

Hasil temuan tersebut menunjukan, dari 19 kota harga rokok hanya mengalami kenaikan di enam kota saja, yaitu Kota Pekanbaru, Kota Bandar Lampung, Kota Jember, Kabupaten Pandeglang, Kota Langsa dan kota Mataram. Sementara, harga rokok yang naik paling mahal hanya sebesar Rp 500 per batang dan itu tidak berlaku untuk semua merek rokok.

Iman pun menyayangkan hal tersebut, karena menurutnya masih sangat terjangkau oleh anak-anak. Sebab, ditemukan rata-rata uang saku siswa sekolah dasar mencapai Rp 10 ribu. Sehingga, kenaikan yang hanya Rp 500 per batang tidak terlalu berpengaruh untuk menekan pembelian rokok oleh anak-anak.

"Sangat disayangkan, sudah naiknya tidak seberapa, tidak merata pula di 19 kota tersebut. Naiknya paling tinggi hanya Rp 500 saja per batang. Baru-baru ini Yayasan Lentera Anak melakukan survey uang saku siswa sekolah, hasilnya ratarata siswa SD itu memiliki uang saku sebesar Rp 10 ribu. Tentu kenaikan Rp 500 bukan masalah bagi mereka, rokok masih bisa terbeli," tambahnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement