REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Kemajuan teknologi telah mendorong Muhammadiyah untuk melaukukan terobosan. Hal ini diperlukan demi mengimbangi adanya revolusi industri 4.0 yang telah merasuk dalam masyarakat.
Hal inipun kemudian diejawantahkan oleh anggota Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), M. Ghufron Mustaqim. Hal yang ia lakukan adalah program pemberdayaan ekonomi dengan memanfaatkan big data yang dikemas dalam Kajian Memberdayakan Umat (Kajianmu).
"Ini adalah sebuah pemberdayaan berbasis pengajian yang memiliki fasilitas memberi pinjaman tanpa bunga dan jaminan," ujarnya kepada Republika usai menjadi pembicara dalam pengajian Ramadhan PWM DIY di Kampus IV Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Sabtu (2/6).
Hal yang unik dari Kajianmu adalah jamaah yang memiliki usaha mikro dapat menikmati fasilitas pinjaman tanpa bunga dan jaminan dengan syarat harus rajin mengikuti pengajian.
Setelah itu, intensitas kehadiran kajian dan progres pemahaman serta kemampuan dalam membaca Alquran di unggah dalam aplikasi Kajianmu yang dibangun dengan plarform digital berbasis android. Seluruh data itu kemudian diintegrasikan denhan data terkait detail usaha yang tengah dijalankan oleh jamaah tersebut.
"Seluruh hasil dari analisis big data inilah yang kemudian sekaligus menjadi track record yang diperlukan sebagai instrumen pertimbangan pemberian pinjaman," kata dia. Menurutnya, program dengan memangaatkan big data ini masih merupakan pilot project dan baru saja dioperasikan pada Mei 2018.
Hingga saat ini, sudah terdapat sekitar 40 jamaah yang telah terdaftar dalam aplikasi Kajianmu. Dari 40 jamaah itu, terdapat 20 orang yang telah mendapat fasilitas pinjaman. Rata-rata, lanjut dia, mayoritas jamaah bergerak pada industri kuliner dengan pinjaman rata-rata sekitar Rp 3 juta rupiah.
Ia menekankan, selain sebagai tindak lanjut atas pemanfaatan peluang dalam menghadapi revolusi industri 4.0, program ini juga memiliki misi untuk memberantas rentenir. Pada tahap awal, program ini fokus untuk dikembangkan di Yogyakarta, mengingat, di kota ini saja terdapat sekitar 200 ribu orang yang menjadi korban rentenir setiap tahunnya.