REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Satu generasi anak-anak di Jalur Gaza tengah menghadapi ancaman krisis kesehatan mental. Organisasi hak anak Save the Children menemukan, 95 persen anak-anak yang diwawancarai menunjukkan gejala seperti depresi, hiperaktif, dan memiliki keinginan untuk menyendiri.
"Satu generasi anak-anak di Gaza sedang menyeimbangkan mental mereka di ujung pisau, satu kejutan lagi saja bisa berdampak buruk untuk seumur hidup mereka," kata Marcia Brophy, penasihat kesehatan senior di Save the Children, dalam sebuah pernyataan seperti dilaporkan laman Aljazirah, Senin (4/6).
Save the Children melakukan survei terhadap 150 remaja usia rata-rata 14 tahun dan juga mewawancarai 150 pengasuh yang tinggal di Jalur Gaza yang terkepung. Mayoritas anak-anak itu tumbuh dengan menyaksikan langsung tiga serangan Israel, dari 2008 hingga 2009, 2012, dan 2014.
Lebih jauh, blokade Mesir dan Israel yang telah berlangsung selama 11 tahun, juga sangat membatasi kehidupan mereka di Gaza. Pengangguran kaum muda sekarang mencapai 60 persen dan tingkat kemiskinan meningkat dari 30 hingga 50 persen.
Sedikitnya 68 persen anak-anak mengatakan mereka mengalami kesulitan tidur. Sebanyak 78 persen di antara mereka mengaku salah satu sumber ketakutan terbesar bagi mereka adalah suara pesawat tempur.
Namun penelitian ini juga menunjukkan, anak-anak ini dapat mengungkapkan kekuatan mereka. Sebanyak 80 persen anak mengatakan mereka dapat secara terbuka berbicara tentang masalah mereka kepada keluarga dan teman-teman mereka.
Sementara 90 persen dari mereka mengatakan mereka merasa didukung oleh orang tua mereka. Brophy menuturkan, sebagian besar anak-anak di Gaza menggantungkan keamanan dengan adanya kehadiran keluarga mereka.
Sehingga gangguan keamanan terhadap keluarga mereka telah menjadi salah satu pemicu utama bagi mereka untuk menderita masalah kesehatan mental. Seorang remaja muda bernama Samar (15 tahun) yang diwawancarai dalam laporan itu mengatakan, dia selalu khawatir apakah dia akan menjadi sasaran serangan rudal selanjutnya.
"Ketakutan ini mencekam saya dan banyak anak-anak. Kadang-kadang di siang hari, saya akan berpikir tentang mimpi buruk yang saya rasakan sepanjang waktu," ujar Samar.
"Blokade, serangan udara, dan perang semuanya memengaruhi mimpi, ambisi, dan kepribadian saya. Saya takut apa yang akan terjadi di masa depan," tambah dia.
Jennifer Moorehead, Save the Children Country Director untuk wilayah Palestina yang diduduki, mengatakan kepada Aljazirah, dunia memiliki tanggung jawab untuk meringankan penderitaan anak-anak di Gaza. Hal ini mengingat sedikitnya sumber daya yang ada di Jalur Gaza.
"Masyarakat internasional harus melibatkan diri mereka [dan] menginvestasikan sumber daya mereka serta waktu mereka untuk mengatasi akar penyebab dari hal ini, yaitu blokade," kata Moorehead.
Ia menambahkan, blokade Israel dan Mesir telah mencegah segala bentuk perkembangan di wilayah itu. Selain itu, blokade juga membiarkan anak-anak terjebak tanpa dukungan layanan yang mereka butuhkan.
"Masyarakat internasional perlu meningkatkan bantuannya dan memperkenalkan lebih banyak dukungan kesehatan mental dan psiko-sosial ke sekolah-sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan rumah," ungkapnya.
"Hanya dengan melakukan langkah langsung ini, serta berfokus untuk mengakhiri blokade dan mencari solusi yang tahan lama dan adil, anak-anak akan memiliki masa depan yang lebih penuh harapan," jelas Moorehead.
Pada Jumat (1/6), Amerika Serikat (AS) memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang diajukan Kuwait. Rancangan resolusi itu bertujuan untuk menyerukan perlindungan terhadap warga sipil Palestina.
Sedikitnya 120 warga Palestina, termasuk 14 anak-anak, telah tewas dan lebih dari 13 ribu orang terluka oleh pasukan Israel dalam aksi protes damai yang telah terjadi selama berminggu-minggu di Jalur Gaza dekat pagar perbatasan Israel.