REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku baru melihat surat yang telah dikirimkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait rancangan undang-undang (RUU) kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Dia mengatakan, surat ini masih dalam kajian internal pemerintah.
"Baru kemarin saya lihat, saya terima, baru dalam kajian kita. Nanti setelah selesai, saya sampaikan. Intinya, kami tetap harus memperkuat KPK. Sudah, intinya ke sana," ujar Jokowi sehabis menghadiri buka bersama di Mabes TNI, Selasa (5/6).
Menurut Jokowi, pengkajian surat dari KPK dilakukan oleh tim yang dikoordinasikan Menkopolhukam Wiranto dan prosesnya masih berlangsung. Setelah kajian itu selesai, secepatnya akan masuk kembali ke meja kerjanya.
"Poin-poinnya secara detail saya belum bisa saya sampaikan karena memang baru kemarin saya terima," ujar Jokowi.
"Intinya, kami tetap harus memperkuat KPK. Sudah intinya ke sana," ujar Jokowi.
KPK menyatakan telah berkirim surat sebanyak lima kali terhadap Presiden Jokwi untuk meminta delik korupsi tidak diatur di RUU KUHP. Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, keberadaan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang mengatur pemberantasan korupsi seharusnya membuat delik korupsi tidak dimasukkan lagi di UU lain.
"Sudah kirim lima kali. Posisinya tetap, kita punya pemikiran karena dia (pemberantasan korupsi) sudah jadi undang-undang tersendiri, harusnya tidak perlu lagi menjadi undang-undang dua kali," ujar Basaria di Istana Negara, Senin (4/6).
Basaria menyampaikan, KPK khawatir tumpang tindih aturan malah membuat pemberantasan korupsi menjadi lemah. Lagi pula, UU KPK selama ini sudah dianggap sebagai dasar hukum yang baik untuk membuat pemberantasan korupsi efektif.
"Sekarang kalau (KUHP) dibuat lagi, untuk apa lagi (delik korupsi) dimasukkan?" ujarnya
Basaria mengaku Jokowi belum sekali pun merespons surat yang dilayangkan. Meski demikian, KPK akan tetap konsisten menolak dimasukkannya delik korupsi ke dalam RKUHP.
Dalam suratnya, KPK pun mencantumkan setidaknya 10 karakteristik menonjol tipikor yang berbeda dengan tindak pidana lainnya, yaitu:
- tipikor dirumsukan secara formal dan bukan materiel sehingga pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa dan hanya sebagai faktor meringankan,
- dicantumkannya pengaturan korporasi sebagai subjek hukum,
- pengaturan pembuktian terbalik terbatas atau berimbangan (balanced burder of proof),
- adanya pengaturan ancaman pidana minimum dan maksimum,
- terdapat pidana mati sebagai unsur pemberatan,
- adanya pengaturan penyidikan gabungan perkara tipikor yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung,
- dicantumkannnya pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia bank yang lebih luas diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa dilanjutkan penyitaan,
- adanya pengaturan peran masyarakat sebagai kontrol sosial dengan disebutkannya perlindungan hukum sebagai saksi pelapor,
- memuat ketentuan mengenai pegwai negeri yang lebih luas dibanding peraturan lain, dan
- memuat pidana tambahan yang lebih luas dibanding dalam KUHP.
Baca Juga: KPK tak Dapat Penuhi Permintaan Pemerintah-DPR Soal RUU KUHP