Kamis 07 Jun 2018 02:06 WIB

Wiranto: Revisi KUHP tidak akan Memperlemah KPK

DPR tengah membahas revisi KUHP yang dinilai akan melemahkan kewenangan KPK.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan - Wiranto.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan - Wiranto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menegaskan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak akan memperlemah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menko Polhukam Wiranto di Jakarta, Rabu (6/6), menyampaikan masuknya delik korupsi dalam RKUHP itu tidak akan 'meleburkan' Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menjadi acuan kinerja KPK.

"Sangkaan orang soal aturan pidana khusus akan 'mandul' dan tidak berlaku setelah dimasukkan ke RUU KUHP itu salah. Aturan khusus itu tetap berlaku," terang dia.

Mantan panglima TNI itu menjelaskan secara kelembagaan, KPK akan tetap aktif dan tidak ada pelimpahan tugas ke pihak lain. Bahkan, proses peradilan kasus korupsi juga akan tetap berlangsung seperti sebelumnya.

"Masuknya delik-delik pidana khusus dalam RUU KUHP itu hanya melengkapi pada saat dilaksanakan konsolidasi hukum, modifikasi, atau integrasi hukum," terang dia.

Menurut dia, hal itu tidak hanya berlaku pada delik korupsi. Aturan soal pidana khusus lainnya, yakni terorisme, narkotika, pelanggaran berat, serta pencucian uang juga akan tetap berlaku. Wiranto sebelumnya menggelar rapat koordinasi terbatas dengan para pemangku kepentingan dari pihak pemerintah, yang ikut menyusun RUU KUHP.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Kehakiman pada masa Kabinet Reformasi Pembangunan Muladi, serta beberapa perumus RUU KUHP terlihat hadir dalam pertemuan tersebut.

Ketua Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Muladi menegaskan bahwa RUU KUHP tidak akan mengganggu kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Muladi menegaskan, timnya tidak mungkin berniat menghancurkan KPK.

"Pengaturannya tetap dilakukan terpisah. Jadi, di dalam KUHP itu diatur core crime-nya saja, core crime itu tindak pidana pokok. Kalau korupsi itu yang terkenal di sini core crime-nya di dalam Pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi," kata Muladi dalam konferensi pers di gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Rabu (6/6).

Sebelumnya, KPK tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah dan DPR mengenai rumusan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dalam bentuk pidana pokok. Muladi menerangkan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tetap ada di luar KUHP, namun, pidana pokok sebagai jembatan diatur dalam RKUHP.

Dia menyatakan, dalam RKUHP pada Pasal 729 juga menegaskan tindak pidana khusus tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga masing-masing. "Pasal 729 itu aturan peralihan yang menyatakan bahwa pada KUHP ini mulai berlaku nantinya ketentuan tentang tindak pidana khusus dalam UU ini tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam UU masing-masing, tidak akan menganggu dan mengurangi kewenangan KPK," ungkap Muladi yang juga mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) itu.

Ia menegaskan tidak ada maksud dari KUHP tersebut mengganggu kewenangan KPK. Karena, menurut Muladi, telah diatur dalam Pasal 729 dalam RKUHP.

"Saya ulangi pada saat KUHP ini mulai berlaku ketentuan tentang tindak pidana khusus tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur di dalam Undang-Undang masing-masing ada KPK, BNN, PPATK, Komnas HAM, dan sebagainya," kata Muladi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement