REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Parlemen Irak telah memerintahkan penghitungan suara ulang dalam pemilihan parlemen yang diselenggarakan pada 12 Mei lalu. Hasil penghitungan suara sebelumnya diketahui dimenangkan oleh pemimpin Syiah, Muqtada al-Sadr.
Penghitungan ulang 11 juta surat suara yang akan memperebutkan 328 kursi di parlemen Irak merupakan bagian dari tanggapan atas tuduhan adanya kecurangan pemilu. Anggota parlemen juga memecat sembilan anggota komisi pemilihan nasional dan mengganti anggota komisi itu dengan hakim.
Charles Stratford dari Aljazirah yang melaporkan langsung dari Baghdad mengatakan, beberapa distrik mempertanyakan hasil pemilihan ketika hasil awal mulai diumumkan pada 12 Mei dan 13 Mei. Keluhan telah diajukan oleh sejumlah pihak dari seluruh negeri, beberapa hari setelah pemungutan suara.
"Kami mendengar banyak ketidakpuasan dari daerah-daerah di Kurdish Regional Government (KRG), dan provinsi-provinsi yang didominasi Sunni, Anbar, Salahuddin, dan Diyala," ujar Stratford.
"Tapi semuanya tampak mendukung ketika Perdana Menteri Haidar al-Abadi membeberkan temuan dan rekomendasi dari komite menteri dan menuduh ada pelanggaran dalam pemilihan," tambah dia.
Al-Abadi menyalahkan alat penghitungan suara elektronik yang digunakan oleh IHEC. Menurutnya, alat itu telah digunakan tanpa uji coba sebelumnya. Badan intelijen Irak mengatakan, mesin penghitungan suara elektronik, yang digunakan untuk pertama kalinya dalam pemilihan umum Irak, menghasilkan hasil yang bervariasi.
Dalam pemungutan suara Irak ini, koalisi Sairoon pimpinan Muqtada al-Sadr muncul sebagai pemenang dengan memperoleh 54 dari 328 kursi. Koalisinya ini mengalahkan partai-partai Syiah yang yang memimpin perang melawan ISIS, seperti koalisi al-Nasr pimpinan al-Abadi yang berada di tempat ketiga dengan memperoleh 42 kursi.
Kekalahan al-Abadi dinilai sebagai teguran terhadap elit politik yang beberapa di antaranya terlibat kasus korupsi. Sementara koalisi Sairoon telah berjanji untuk membantu orang miskin dan membangun sekolah dan rumah sakit, yang runtuh dalam peperangan melawan ISIS.
Koalisi ini juga dengan gigih menentang campur tangan asing di Irak, entah itu Iran atau AS. Sebelum pemilihan, Iran secara terbuka menyatakan tidak akan mengizinkan koalisi al-Sadr untuk memerintah.
Al-Sadr sendiri tidak bisa menjadi perdana menteri karena dia tidak mencalonkan diri dalam pemilihan. Tetapi kemenangan koalisinya menempatkan dia pada posisi yang kuat dalam negosiasi atas masa depan pemerintahan Irak.
Pembentukan pemerintahan baru diperkirakan akan memakan waktu berbulan-bulan karena tidak ada koalisi yang memenangkan suara 165 kursi yang diperlukan untuk mayoritas. Sampai perdana menteri baru dipilih, al-Abadi akan tetap menjabat dan mempertahankan semua kekuatannya.