Sabtu 09 Jun 2018 05:29 WIB

Langkah Anies Setelah Pulau Reklamasi Disegel

Fraksi PDIP menyebut penyegelan harus didahului perda.

Rep: Mas Alamil Huda, Sri Handayani/ Red: Elba Damhuri
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau salah satu kawasan di pulau reklamasi Teluk Jakarta, Jakarta, Kamis (7/6).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau salah satu kawasan di pulau reklamasi Teluk Jakarta, Jakarta, Kamis (7/6).

REPUBLIKA.CO.ID   Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membentuk Badan Pelaksana Reklamasi sebagai kelanjutan dari penyegelan yang telah dilakukan di pulau reklamasi. Pembentukan badan ini didasari pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

"Pada fase sekarang memang disegel. Nanti sesudah ada Badan Pelaksana Reklamasi sesuai amanat Keppres 52 Tahun 1995, disusun rencana untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (8/6).

Anies mengatakan, rencana yang disusun Badan Pelaksana Reklamasi akan diterjemahkan dalam peraturan daerah (perda) terkait tata ruang. Dari perda tersebut, menurut dia, pembahasan terkait wilayah yang menjadi zona peruntukan masing-masing baru bisa dimulai.

"Mana zona perkantoran, mana zona perumahan, mana zona hijau, mana zona biru, mana tempat untuk fasilitas sosial fasilitas umum. Semua harus ditentukan dulu lewat perda rencana tata ruang zonasi," ujar dia.

Sebanyak 500 personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI menyegel Pulau C dan D milik PT Kapuk Naga Indah di Teluk Jakarta pada Kamis (7/6). Jumlah bangunan yang disegel mencapai 932 bangunan, terdiri atas 409 rumah tinggal, 212 rumah kantor (rukan), serta 311 unit rumah tinggal dan rukan yang belum jadi. Di spanduk penyegelan, Pemprov DKI Jakarta menyatakan lokasi ditutup karena melanggar Pasal 69 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Sebelumnya, Anies telah menarik dua rancangan peraturan daerah (raperda) terkait reklamasi Teluk Jakarta, yakni Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKS Pantura). Keduanya diajukan mantan gubernur Djarot Saiful Hidayat pada akhir masa jabatannya.

Saat itu, Anies ingin memastikan tak ada pembahasan raperda terkait reklamasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI pada 2018. Namun kini, Anies meyakini kedua raperda bisa segera dibahas setelah ada penyesuaian.

"Insya Allah bisa tahun ini, sudah ada rancangannya. Kita tinggal menuntaskan saja. Waktu itu saya cabut raperdanya supaya kita mengajukan lagi itu sesuai dengan apa yang digariskan perpres (Keppres 52/1995). Dan yang digariskan perpres itu nanti di tim Badan Pelaksana (Reklamasi)," katanya.

Keppres 52 Tahun 1995 ini juga dijadikan basis argumentasi hukum oleh mantan gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok menilai, gubernur DKI memiliki wewenang penuh terhadap reklamasi Teluk Jakarta.

Namun, keppres yang dijadikan 'sandaran' Ahok itu dinilai tak berdasar. Sebab, ada aturan termutakhir terkait reklamasi Teluk Jakarta, yakni Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Perpres Nomor 122 ini memberi wewenang kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait izin reklamasi di wilayah DKI yang termasuk Kawasan Strategis Nasional (KSN). Polemik terkait dasar hukum ini terus bergulir saat itu.

Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono mengatakan, penyegelan harusnya dilakukan setelah adanya aturan, dalam hal ini perda, sebagai turunan Keppres 52/1995 untuk memberi kepastian perlakuan terhadap pulau reklamasi. "Justru sebetulnya, alat untuk menyegel itu ketika perdanya sudah disahkan. Ini masih jadi kewenangan pemerintah pusat. Jadi soal reklamasi ini pemberi izinnya pemerintah pusat," ujar dia.

Kendati demikian, Gembong mengapresiasi ketegasan mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu terkait penyegelan pulau reklamasi. Namun, Gembong mengingatkan, ketegasan harus dilandasi dengan dasar hukum yang jelas. Pemerintah harus bekerja berdasarkan aturan hukum yang ada.

"Dalam konteks ketegasan itu tetap harus ada alas hukum yang kuat. Karena persoalan reklamasi ini menjadi kendala bagi pengembang adalah persoalan statusnya. Status dilanjutkan atau dihentikan sampai saat ini belum ada kejelasan," ujar dia.

Sementara politikus PDIP lainnya, Bestari Barus menilai, tak ada yang spesial dengan apa yang dilakukan Anies. Penyegelan gedung yang melanggar IMB adalah hal yang biasa terjadi. \"Itu hal yang biasa-biasa saja,\" kata Bestari.

Menurut Bestari, reklamasi adalah hal jamak yang dilakukan di berbagai negara di dunia. Anies tak seharusnya bangga karena bisa menutup pulau hasil reklamasi. Saking biasanya, ia menilai hal itu tak harus dilakukan oleh seorang gubernur. Penyegelan itu bisa dilakukan oleh kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).

Bestari menambahkan, sebenarnya tak ada masalah jika Anies menyegel gedung-gedung di Pulau C dan D. Namun, ia menilai bangunan yang telah berdiri menjadi mubazir. Anies seharusnya memperbaiki perizinan pulau tersebut agar bangunan-bangunan bisa dikembangkan dan perekonomian di sana bisa tumbuh.

Ketua Komisi D DPRD DKI Iman Satria mengatakan, penyegelan Pulau C dan D membuktikan sikap tegas Anies. Ia dinilai telah menerapkan hukum tanpa pandang bulu. "Ini bukti kalau gubernur tidak pandang bulu. Semua sama di mata hukum," ujar Iman.

Politikus Partai Gerindra ini menilai keputusan penyegelan sudah tepat. Ia menampik pandangan bahwa penyegelan yang dilakukan akan membuat bangunan yang sudah berdiri menjadi mubazir. Baginya, tidak ada yang mubazir karena bangunan-bangunan itu didirikan tanpa izin. (Pengolah: ilham tirta).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement