REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menyatakan, sidang pendahuluan terkait permohonan uji materi atas Pasal 222 Undang-undang 7/2017 tentang Pemilu dilakukan paling lambat yakni 14 hari sejak diregistrasi. Pasal yang ingin diujimaterikan mengenai ambang batas pencalonan presiden.
"Sidang pendahuluan dilakukan paling lama 14 hari sejak diregistrasi. (Saat ini) sidang belum dijadwalkan karena permohonan belum diregistrasi, kemungkinan Senin baru akan diregistrasi," kata dia saat dikonfirmasi, Jumat (22/6).
Pada 13 Juni lalu, 12 pemohon uji materi atas pasal 222 UU Pemilu atau pasal tentang ambang batas pencalonan presiden sudah mendaftarkan permohonan uji materi tersebut ke MK secara online. Pada Kamis (21/6) kemarin, 12 pemohon tersebut mendatangi MK untuk menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan tersebut.
Baca: Presidential Threshold Digugat untuk Hindari Capres Tunggal.
Ke-12 pemohon adalah M Busyro Muqoddas, M Chatib Basri, Faisal Basri, Hadar Nafis Gumay, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Feri Amsari, Angga D Sasongko, Hasan Yahya, Dahnil A Simanjuntak, dan Titi Anggraini.
"Kami meminta agar MK segera memberikan putusan atas uji materi ini. Sebab, soal presidential threshold ini adalah hal yang penting dan strategis bagi adil dan demokratisnya pemilihan presiden (pilpres). Sehingga sangat layak diputus dalam waktu segera," ujar salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay, Kamis (21/6) kemarin.
MK, papar Hadar, pernah dengan bijak memutus perkara-perkara pemilu dengan cepat, misalnya soal KTP-el sebagai alat verifikasi pemilu, yang diproses hanya dalam beberapa hari, dan diputus dua hari menjelang pemilu. Karena itu, mereka berharap MK mengeluarkan putusan sebelum proses pendaftaran capres pada 4–10 Agustus 2018.
"Kami memohon agar pembatalan Pasal 222 UU Pemilu yang menghapuskan syarat ambang batas pencalonan capres dapat diberlakukan segera, atau paling lambat sejak Pilpres 2019. Bukan diberlakukan mundur untuk Pilpres selanjutnya, sebagaimana putusan terkait pemilu serentak dalam putusan MK 2014," kata komisioner KPU periode 2012-2017 itu.
Hadar menjelaskan, ada sembilan alasan yang mendasari permohonan tersebut. Salah satunya presidential threshold berpotensi menghadirkan capres tunggal. Menurutnya, presidential threshold saat ini menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
"Kami mengajukan permohonan ini sebagai orang-orang nonpartisan dan tidak ada tujuan untuk kepentingan paslon tertentu atau parpol tertentu dalam pilpres," ujar dia.
Pasal 222 UU Pemilu pernah diujimateri di MK. Hasilnya, MK menolak permohonan tersebut pada 11 Januari 2018. Dua hakim MK, Suhartoyo dan Saldi Isra, saat itu menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda.
Dalam pertimbangan, MK menyebutkan aturan soal ambang batas pencalonan presiden yang diatur pada pasal tersebut dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensial. "Pokok permohonan pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 222 UU No 7/2017 tentang Pemilu tidak beralasan menurut hukum," ucap Ketua Hakim MK Arief Hidayat dalam persidangan saat itu.
In Picture: Aksi Hapus Ambang Batas Nyapres di Mahkamah Konstitusi.