REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Membaiknya hubungan Amerika Serikat (AS) dengan Korea Utara (Korut) telah membangkitkan sebuah harapan yang telah lama terkubur. Sampai saat ini masih banyak warga AS yang menunggu kerangka keluarga mereka, yang tewas saat tugas militer dalam Perang Korea, untuk segera dikembalikan.
Dilaporkan laman The Guardian, tercatat sebanyak 7.700 tentara AS hilang dalam Perang Korea, 5.300 di antaranya hilang di Korut. Baru 459 kerangka yang telah diidentifikasi dari kerangka-kerangka yang telah dipulangkan sejauh ini.
Sanak saudara dan anak-anak prajurit korban perang Korea telah bersabar menunggu janji yang membuat mereka akhirnya dapat mengubur jasad orang yang mereka cintai, yang telah lama hilang. John Zimmerlee masih berusia tiga tahun ketika pesawat ayahnya jatuh di Korut pada Maret 1952.
Saat dia berusia enam tahun, para perwira militer AS bersumpah kepada ibunya, mereka akan secara aktif mencari petunjuk mengenai keberadaan ayahnya. "Saya mengecek kotak surat setiap hari untuk melihat apakah ada kabar terbaru. Ini adalah kehampaan terbesar dalam hidup saya yang tidak akan pernah hilang," kata Zimerlee, yang sekarang berusia 69 tahun.
Ketidakpastian meningkat setelah sebuah kabar mengatakan ayahnya mungkin masih hidup ketika pesawatnya jatuh di Korut. Ada dugaan ayah Zimerlee ditangkap dan dijadikan tawanan di negara tersebut.
Sementara Rick Downes mengaku ayahnya yang menjadi prajurit AS dilaporkan hilang pada 1952, ketika pesawat pengebom B26-nya ditembak jatuh. Pencarian informasi tentang nasibnya telah berlangsung sampai saat ini.
"Hanya mereka yang mengalaminya yang tahu seperti apa rasanya. Luka itu tidak pernah sembuh dan terus berlangsung selama beberapa generasi," kata Downes.
Upaya kerja sama untuk memulangkan kerangka prajurit AS dari Korut telah dimulai pada 1996, dua tahun setelah pemerintahan mantan presiden AS Bill Clinton menegosiasikan kerangka kesepakatan denuklirisasi dengan Pyongyang. Sejak saat itu, pemulangan kerangka prajurit telah dieksploitasi sebagai sumber pemasukan uang oleh Tentara Rakyat Korea (KPA).
"Mereka selalu mendiskusikan masalah harga di awal perundingan. Kami akan bertemu dengan satu atau dua orang dari kementerian luar negeri dan pejabat politik dari militer. Mereka memberi tahu kami tentang perang imperialis dan peran global negatif kami, lalu kemudian menanyakan soal uang," kata Kurt Campbell, yang memimpin delegasi pertama AS ke Pyongyang untuk membahas pemulangan kerangka prajurit AS pada 1996.
"Saat itu kami tinggal di rumah tamu yang dilengkapi dengan penjaga keamanan dan makanan yang lezat, padahal negara itu sedang berada di ambang kelaparan," ujar pria yang sekarang menjabat sebagai asisten menteri luar negeri AS untuk urusan Asia Timur dan Pasifik.
Secara teknis AS tidak membayar untuk bisa mendapatkan kerangka para prajurit, tetapi AS harus membayar KPA untuk biaya yang terkait dengan pemulangan kerangka. "Seperti bernegosiasi dengan mafia dari jaringan kriminal di seluruh dunia," kata Wallace "Chip" Gregson, seorang letnan marinir jenderal kelautan yang juga mengambil bagian dalam negosiasi awal.
Dalam beberapa dekade berikutnya, para perwira AS dan ilmuwan forensik berhasil membawa pulang 229 kerangka prajurit dan barang-barang pribadi mereka. Dari kerangka-kerangka itu, sebanyak 153 di antaranya telah diidentifikasi.
Korut secara sepihak telah menyerahkan 208 peti mati. Meski demikian, banyak kerangka di dalamnya yang diketahui bukan milik tentara AS dan beberapa lainnya bahkan bukan kerangka manusia.
Satu-satunya pemulangan kerangka yang dilakukan setelah 2005 adalah pemulangan tujuh kerangka yang diserahkan kepada Gubernur New Mexico Bill Richardson pada 2007. Saat itu AS harus membayar sekitar satu juta dolar AS untuk mendapatkan kerangka-kerangka itu.