REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dan penyambutan hangat kaum Anshar merupakan kejadian bersejarah yang tidak akan terlupakan. Begitu pula nama Abu Ayyub yang dipilih Allah untuk memuliakan kekasih-Nya, Nabi Muhammad, ketika berhijrah ke Madinah.
Rumah Abu Ayyub adalah satu-satunya tempat yang dimuliakan untuk menampung Rasulullah selama pembangunan Masjid al-Aqsha. Pada saat itu, kebahagiaan memayungi hati Abu Ayyub al- Anshari, dia bergegas mendekat kepada Rasulullah SAW untuk menyambutnya, membawa perlengkapan beliau di depannya, seolah-olah dia membawa harta perbendaraan dunia seluruhnya dan membawanya ke dalam rumahnya.
Rumah Abu Ayyub terdiri dari dua lantai. Dia telah mengosongkan bagian atas dari semua keperluan pribadinya dan keperluan istrinya agar Rasulullah SAW tinggal di sana. Namun, Rasulullah lebih memilih tinggal di bawah, maka Abu Ayyub menuruti kemauan Nabi dan membiarkan beliau tinggal sesukanya.
Namun, semalaman Abu Ayyub dan istrinya tak mampu memejamkan mata karena takut berdosa berdiri di atas tempat Rasulullah tidur. Maka, dia dan istrinya pun duduk di tempat yang sekiranya Rasulullah tidak berada di bawah mereka.
Pada pagi harinya, Abu Ayyub menemui Rasulullah dan berkata kepada beliau: Aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu ya Rasulullah, aku tetap tidak suka berada di atasmu dan engkau berada di bawahku.
Kemudian aku menceritakan berita gentong yang pecah di lantai atas dan mereka menggunakan selimut untuk melapnya agar tidak membasahi Rasulullah yang berada di lantai bawah. Maka Rasulullah menyanggupi dan beliau naik ke atas, aku dan Ummu Ayyub turun ke bawah.
Nabi SAW tinggal di rumah Abu Ayyub selama kurang lebih tujuh bulan sampai rampungnya pembangunan Masjid al-Aqsha. Setelah pembangunan selesai, Rasulullah membangun kamar-kamar untuk dirinya dan keluarganya tepat di sebelah kediaman Abu Ayyub.
Rasulullah juga mengangkat sekat di antara beliau dengan Abu Ayyub, sehingga dapat melihat keluarga Abu Ayyub seperti keluar- ganya sendiri. Abu Ayyub sendiri selalu menyimpan makanan untuk Rasulullah dan jika Rasulullah tidak datang kepadanya maka dia akan memberikannya kepada keluarganya.
Dalam riwayatnya, Abu Ayyub tidak pernah tert-inggal dalam satu peperangan pun sejak zaman Rasulullah SAW hingga zaman Muawiyah. Kecuali jika dia mempunyai kesibukan yang perlu didahu-lukan.
Perang terakhir yang diikuti oleh Abu Ayyub adalah ketika Muawiyah menyiapkan bala tentara dengan komando putranya Yazid untuk menaklukkan Konstantinopel. Pada saat itu Abu Ayyub sudah menjadi seorang laki-laki tua berumur lanjut, usianya mendekati 80.
Namun, hal itu bukan penghalang baginya untuk bergabung di bawah panji-panji Yazid dan meretas ombak lautan sebagai seorang mujahid di jalan Allah.
Namun, tidak lama berselang setelah peperangan dimulai, Abu Ayyub sakit yang mem- buatnya tidak kuasa untuk meneruskan peperan-gan. Yazid datang kepadanya untuk menjenguknya.
Yazid bertanya: Apakah engkau mempunyai suatu permintaan wahai Abu Ayyub?
Abu Ayyub menjawab: Sampaikan salamku kepada bala tentara kaum Muslimin dan katakan kepada mereka `Abu Ayyub mewasiatkan kepada kalian agar kalian masuk ke bumi musuh sejauh mungkin, membawa jasadnya bersama mereka lalu menguburkannya di bawah telapak kaki kalian di pagar kota Konstantinopel'. Lalu dia mengembuskan napas terakhirnya.
Bala tentara kaum Muslimin melakukan permintaan Abu Ayyub seorang shahabat Rasulullah SAW, mereka menyerang pasukan musuh berkali- kali. Mereka tiba di benteng kota Konstantinopel dalam keadaan membawa jasad Abu Ayyub. Di sana, mereka menggali dan menguburkannya.