REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Situasi keamanan regional Asia Timur mengalami perkembangan positif tahun ini setelah adanya itikad perdamaian di Semenanjung Korea melalui sejumlah pertemuan besar antarkepala negara, yakni Korea Utara-Selatan dan Amerika Serikat.
Namun sejatinya masalah di Semenanjung Korea bukan hanya urusan dua Korea atau Amerika Serikat, namun juga terkait dengan negara-negara satu kawasan. Dalam konteks ini, Jepang menjadi salah satu negara yang memiliki kepentingan dalam proses perdamaian di Semenanjung Korea.
Pelucutan nuklir atau denuklirisasi yang didambakan Korea Selatan dan Amerika Serikat justru bukan menjadi prioritas utama bagi Jepang. Jepang tidak menganggap persoalan denuklirisasi sebagai hal utama, karena sejatinya ada dua persoalan lain yang harus diselesaikan dengan Korea Utara.
Hal tersebut dikemukakan pakar hubungan internasional dari UGM Yogyakarta Siti Daulah Khoiriati saat ditemui di Yogyakarta dalam sebuah kesempatan. Menurut pakar di bidang Kajian Wilayah Jepang itu, keinginan paling utama yang diangkat Jepang dalam perdamaian di Semenanjung Korea ialah soal hubungan diplomatik dengan Korea Utara.
Sejak usai Perang Dunia II, kedua negara belum melakukan normalisasi hubungan diplomatik. Hal ini berbeda dengan Korea Selatan yang telah menjalin hubungan dengan Jepang.
Jepang nyatanya ingin terlebih dahulu menormalisasi hubungan dengan Utara untuk menyelesaikan masalah di masa perang, sebelum meminta denuklirisasi. Bahkan hingga sekarang belum tercapai perjanjian perdamaian pada kedua negara.
Dari sini, Jepang akan menaikkan daya tawarnya untuk menuntut pengembalian warga negara Jepang yang diculik rezim Utara sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Meski ada beberapa yang telah kembali ke Jepang, tapi kasus penculikan oleh pemerintah Korea Utara belum terselesaikan hingga sekarang, dan kasus tersebut menjadi perhatian yang sangat serius karena ada tekanan domestik yang sangat besar.
Setiap kali ada persoalan yang menyangkut Korea Utara, bisa dipastikan media-media Jepang akan memunculkan isu tentang penculikan. Bagi Jepang, ketiga persoalan tersebut merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan saat berhadapan dengan Korea Utara.
Jepang pun menyambut dingin dengan pertemuan antara pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 12 Juni lalu di Singapura.
Publik dalam negeri Jepang pun lebih peduli dengan soal penculikan dari pada penyelesaian masalah peluru kendali Korea Utara, mengingat rudal-rudal tersebut sebenarnya tidak diarahkan ke Jepang, tapi AS.
Terkait isu keamanan ini pun, sejumlah pejabat tinggi di Jepang melihat bahwa sebetulnya tingkat ancaman Korea Utara kepada Jepang tidak terlalu tinggi, karena Utara hanya memproduksi rudal jarak jauh.
Kecuali jika kelak Korea Utara memproduksi rudal jarak dekat atau menengah yang bisa mencapai Jepang, baru akan ada kekhawatiran yang mendesak terkait denuklirisasi, kata Siti.
Pada 2002, Korea Utara mengakui bahwa mereka menculik 13 warga Jepang pada dasawarsa 1970-80an, dengan lima orang di antaranya kembali ke Jepang. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, yang bergulat dengan skandal domestik, telah bersumpah untuk tidak beristirahat sampai warga negaranya yang lain bisa kembali ke tanah airnya.
Besarnya keinginan itu pun sempat ia tekankan pada Presiden Trump untuk diutarakan pada pertemuan 12 Juni di Singapura dengan Kim. Jepang telah mengincar prospek untuk melakukan pertemuan puncak dengan Kim, di mana PM Abe berharap dapat menemukan jalan keluar guna mengatasi masalah warga Jepang yang diculik puluhan tahun lalu oleh Korea Utara.
Berdasarkan laporan dari Yomiuri Shinbun, pemerintah Jepang sedang mengatur pertemuan antara PM Abe dan Kim Jong-un, termasuk kemungkinan kunjungan ke Pyongyang sekitar Agustus.
Dengan mengutip beberapa sumber pemerintah, disebutkan pula pejabat kedua negara sudah melakukan pembicaraan beberapa kali dalam beberapa bulan belakangan untuk merundingkan kemungkinan pertemuan kedua pemimpin tersebut.
PM Abe membuat resolusi terkait masalah warga Jepang yang diculik oleh Korea Utara sebagai janji politik, dan mengatakan pihaknya akan menahan bantuan ekonomi sampai masalah-masalah itu diselesaikan bersama dengan denuklirisasi.
Diharapkan melalui tekanan ini, Korea Utara akan melunak dan mau mengembalikan warga negaranya yang masih tertahan di Korea Utara, mengingat Jepang merupakan negara terbesar dalam pemberian bantuan ekonomi ke Korea Utara.
Jika kunjungan Abe ke Pyongyang terbukti sulit untuk dilangsungkan, Jepang mempertimbangkan skenario lain bagi Abe untuk bertemu Kim di sela-sela Forum Ekonomi Timur yang akan diselenggarakan pada bulan September di Vladivostok jika pemimpin Korea Utara itu hadir, tulis surat kabar itu.
Dalam upaya penyelesaian masalah dengan Korea Utara, Jepang lebih memilih tindakan yang lebih lunak jika dibandingkan dengan AS yang intimidatif dan tidak segan mengedepankan opsi militer.
Pekan lalu PM Abe juga memutuskan untuk menghentikan pelatihan pengungsian dan persiapan kemungkinan serangan peluru kendali setelah ada protes dari Korea Utara.
Tokyo sempat menggelar latihan evakuasi pada Januari lalu, sementara kota-kota kecil lainnya juga melakukan hal yang sama saat Korea Utara tengah gencar-gencarnya melakukan uji nuklir dan rudal.
Kantor berita Kyodo melaporkan bahwa sebelum dihentikan, sembilan daerah direncanakan melakukan pelatihan pengungsian tersebut. Dengan ini diharapkan ketegangan di kawasan tidak lagi muncul dan Jepang memiliki kesempatan untuk berdialog dengan Korea Utara agar mengembalikan warga negara mereka yang belum kembali