REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencemaran dialami Sungai Citarum memang demikian hebat. Setidaknya tercatat 3.236 industri yang didominasi oleh industri tekstil yang berada di kawasan Sungai Citarum ternyata 90 persen tidak memiliki Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL).
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Profesor Drh Wiku Adisasmito MSc PhD mengatakan tindakan-tindakan tegas yang dilakukan pihak keamanan terhadap perusahaan-perusahaan yang telah membuang limbah industrinya ke Sungai Citarum, seharusnya sudah dilakukan sejak 20 tahun lalu. Saat ini perusahaan-perusahaan yang didirikan di sepanjang aliran Sungai Citarum sudah lebih dari 3000 pabrik, perusahaan tekstil cukup dominan.
"Tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membenahi kinerja lingkungan pabrik-pabrik tersebut," ujar Wiku, dalam rilisnya, Kamis (5/7).
Untuk itu Wiku berharap pemilik-pemilik perusahaan itu sendiri yang seharusnya memiliki kesadaran membuat IPAL. Jika tidak ingin nasib pabriknya akan sama seperti pabrik-pabrik yang sudah dihentikan izin operasinya.
Wiku memang memiliki perhatian yang tinggi terhadap normalisasi Sungai Citarum. Saat ini ia ikut membantu program Citarum Harum bersama Sesjen Wantannas Letjen TNI Doni Monardo.
Gerakan menyelamatkan Sungai Citarum sebetulnya sudah dilakukan sejak akhir tahun 2017 lalu saat Doni Monardo masih menjabat sebagai Pangdam 3 Siliwangi. Kini, gerakan Citarum Harum telah dicanangkan sebagai gerakan nasional yang telah diperkuat oleh Presiden Jokowi dengan Perpres no.15 tahun 2018.
"Jadi, masalah Sungai Citarum bukan cuma persoalan masyarakat Jawa Barat. Justru yang menerima dampak terberat adalah masyarakat Jakarta dan sekitarnya karena selama ini menggunakan air dari Sungai Citarum untuk minum," jelas Wiku Adisasmito.
Wiku pun mengingatkan, krisis yang dialami Sungai Citarum bukan hanya disebabkan oleh limbah pabrik yang dibuang langsung tanpa diolah. Dari penelitian yang telah dilakukan, menurunnya kualitas air Sungai Citarum, limbah pabrik andilnya sekitar 30 persen. Sedangkan 70 persen lainnya disebabkan oleh faktor lain, yang terbesar adalah kotoran hewan ternak serta kotoran manusia yang juga dibuang langsung ke Sungai Citarum.
Untuk mengatasi persoalan kotoran hewan yang dibuang langsung ke sungai mulai di daerah Danau Cisanti, Wiku mengusulkan agar ada kerjasama antara pimpinan daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Misalnya Pemda DKI Jakarta bersedia memberikan hibah ke Pemda Jabar untuk mengelola kotoran hewan ternak tersebut agar diolah menjadi pupuk organik.
"Hasil produksi pupuk tersebut nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan peternak dan langsung hasilnya dimanfaatkan oleh Dinas Pertamanan DKI Jakarta untuk merawat tanaman-tanaman yang ada di Ibukota menjadi asri. Beban kerja PAM DKI pun menjadi lebih ringan," ungkap Wiku.
Lanjut Wiku, program penyelamatan Sungai Citarum ini pun juga bisa dilakukan Penjabat Gubernur Jabar Komjen Pol Mochamad Iriawan dengan membuat MCK Komunal di banyak tempat sekitar outlet pemukiman penduduk menuju DAS Citarum.
“Diperlukan dua langkah strategis antara Cisanti dan Jakarta untuk mengatasi setidaknya hingga 70 persen sumber pencemar Sungai Citarum”, ujar Wiku.