REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah mengatakan, KPK terus mendalami pengembangan kasus suap dan gratifikasi terkait pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Jambi tahun anggaran 2017 dan 2018 yang menjerat Gubernur nonaktif Jambi, Zumi Zola. Salah satunya adalah dugaan aliran dana ke DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Jambi.
Dalam pengembangan kasus, KPK terus menemukan bukti kuat keterlibatan Zumi Zola. KPK meyakini ada bukti kuat penerimaan Rp 49 miliar kepada Zumi.
Bahkan, penerimaan tersebut diketahui tidak pernah dilaporkan Zumi kepada KPK sebagai gratifikasi. Padahal dalam pasal 12B ancaman pidananya sampai 20 tahun.
"Sebenarnya kalau dilaporkan dalam waktu 30 hari kerja paling lambat kalau penerimaan dilaporkan, maka ada klausul bebas dari ancaman pidana. Tapi tidak pernah dilaporkan ke KPK. Dan kami sekarang memproses atas dua pasal. Yang pertama pasal 12B dugaan penerimaan gratifikasi. Yang kedua pasal sebagai pemberi suap. Karena itulah anggota DPRD perlu kami periksa," ujar Febri di Gedung KPK Jakarta, Kamis (12/7).
Ihwal pemanggilan anggota DPRD Jambi, sambung Febri, sebagian sudah dipanggil. Unsur saksi yang diperiksa adalah anggota DPRD, pihak swasta dan juga pihak Pemprov Jambi.
Dari para saksi tersebut, penyidik mendalami terkait adanya aliran dana ke pihak lain yang muncul di fakta persidangan. "Saya kira fakta-fakta persidangan tidak akan kami biarkan. Akan kami pelajari. Dan nanti JPU akan merekomendasi apakah fakta sidang tersebut bisa menjadi bukti dikembangkan kepada pelaku," ucap Febri.
Baca juga: PAN Resmi Pecat Zumi Zola
Febri menambahkan, adanya dugaan aliran dana ke DPW PAN Jambi akan didalami dalam pengembangan perkara lantaran hal tersebut juga sempat muncul di fakta persidangan. "Fakta-fakta itu kami pandang bisa menjadi pintu masuk pengembangan perkara. Salah satu bentuk pengembanan perkara," kata Febri.
KPK pekan ini kembali menetapkan Gubernur nonaktif Jambi Zumi Zola sebagai tersangka. Zumi diduga memerintahkan anak buahnya mengumpulkan uang untuk diberikan kepada anggota DPRD Jambi. Pemberian uang tersebut terkait dengan pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Jambi tahun anggaran 2017 dan 2018.
Penetapan tersangka ini berdasarkan fakta-fakta persidangan dan didukung alat bukti berupa keterangan saksi, Zumi diduga mengetahui dan menyetujui uang ketok palu untuk anggota DPRD Jambi. Selain itu, Zumi juga diduga memerintahkan anak buahnya mengumpulkan uang dari pihak-pihak lain.
Adapun, uang yang telah dikumpulkan itu selanjutnya oleh mantan Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jambi Arfan diserahkan sekitar Rp3,4 miliar kepada sejumlah anggota DPRD Jambi.
Selama proses penyidikan kasus ini, KPK telah menerima pengembalian uang dari 7 anggota DPRD Jambi yang ditampung oleh satu orang sebanyak Rp700 juta. Uang tersebut menjadi alat bukti dan dititipkan dalam rekening penampungan KPK.
Atas perbuatan tersebut Zumi dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara, pada kasus penerimaan gratifikasi, Zumi Zola ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan mantan Plt Kadis PUPR Jambi Arfan. KPK menduga penerimaan gratifikasi yang diterima Zumi Zola mencapai Rp 49 miliar selama satu tahun kepemimpinannya di Jambi.
Terdakwa Supriono (51), politikus PAN yang juga anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019, pernah mengakui ada uang 'ketok palu' untuk pengesahan RAPBD Provinsi Jambi 2018. Hal itu diakui terdakwa Supriono dihadapan majelis hakim yang diketuai Badrun Zaini pada sidang di Pengadilan Tipikor Jambi, Rabu (30/5).
Di hadapan majelis hakim, terdakwa Supriono mengatakan bahwa anggota dewan tidak akan hadir pada sidang paripurna DPRD untuk mengesahkan ABPD Jambi jika tidak ada uang 'ketok palu' yang mereka minta untuk diberikan. Terdakwa juga mengakui bahwa ide permintaan uang 'ketok palu' itu berawal dari dewan.
Para anggota DPRD Jambi tidak mau sidang jika tidak ada uang. Alasannya, uang 'ketok palu' sejak 2017 sudah ada dan diantar langsung oleh Kusnindar ke rumah masing-masing anggota dewan.
"Ada dua kali pemberian, pertama akhir 2016 sebesar 100 juta, kemudian tahap kedua pada bulan April 2017. Saya terima tahap pertama dan untuk tahap kedua ada delapan orang yang tidak terima yakni lima dari Fraksi PAN, dua orang dari PKS dan satu dari Nasdem," kata Supriono pada persidangan pemeriksaan dirinya di pengadilan itu.