REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Dalam sistem negara modern hampir tidak ada negara yang homogen baik di dalam bahasa maupun agamanya. Hampir semua negara memberikan tempat untuk kebebasan agama, etnik, suku dan rasa untuk berdemokrasi dan menjamin kesetaraan.
Kemunculan UU Parlemen Israel (Knesset) “negara bangsa Yahudi” pada tanggal 18 Juli kemaren telah menimbulkan kontroversi karena menyalahi prinsip negara modern yang menghormati keragaman dan hak asasi manusia. Dalam UU ini dinyatakan bahwa "Israel adalah tanah air bangsa Yahudi yang bersejarah sehingga mereka punya hak eksklusif menentukan nasib sendiri.
Direktur Pusat Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Dr Muhammad Lutfhi Zuhdi saat ditemui di Jakarta, Rabu (25/7) menanggapi kehadiran UU ini akan menuai kecaman berbagai pihak karena diskriminatif dan rasialis. UU tersebut telah mencabut bahasa Arab dari daftar bahasa resmi dan menegaskan bahwa Yerusalem yang "utuh dan bersatu" sebagai ibu kota Israel.
“Sebenarnya UU yang telah disahkan di negara Israel ini bukahlah hal baru, tetapi lebih melegitimasi ide pendirian negara Israel. Waktu berdirinya negara Israel mereka sudah menyatakan sebagai negara atau bangsa terpilih sehingga menganggap bangsa lain sebagai bangsa kelas dua,” ujarnya.
Lutfi sangat menyayangkan agama yang semestinya menjadi semangat menolak rasisme dan diskriminasi justru menjadi alat untuk meligitimasi tindakan tersebut. Inilah merupakan dampak negatif ketika agama dijadikan legitimasi untuk kepentingan politik.
“Dalam kasus UU ini agama justru mendukung rasisme. Dalam Talmud (tafsir bangsa Yahudi) dinyatakan bahwa agama Yahudi adalah agama yang terpilih. Sehingga ada hak utama untuk menduduki daerah-daerah yang menurut mereka dijanjikan,” kata Lutfi.
Adapun cara yang digunakan untuk menduduki daerah yang dijanjikan bisa dikatakan illegal, bahkan melanggar kesepakatan dunia yakni membentuk dua negara berdaulat. Seharusnya, menurut Lutfi, tidak boleh membangun pemukiman di daerah yang diduduki setelah tahun 1967.
“Yerusalem Timur bukan bagian dari ibukota Israel. Hal ini dilakukan oleh mereka dengan mengatasnamakan agama untuk melakukan tindakan politik dan rasisme.” kata Lutfi.
Meskipun demikian, lanjut Lutfi, pengesahan UU “Negara Bangsa Yahudi” tersebut tidak akan berdampak langsung terhadap Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbeda dengan bangsa Yahudi. Indonesia adalah bangsa yang terbuka dan toleran yang terdiri dari berbagai agama, ras, etnik dan suku.
Agama di Indonesia menjadi penguat persatuan bukan sebagai alat pemecah belah apalagi tindakan rasialis. Agama Islam tersebar di Indonesia dikenalkan sebagai agama yang damai tanpa ada kekerasan dan saling menyayangi.
Pria lulusan universitas di Yordania ini menegaskan dalam kasus Indonesia agama tidak mungkin menjadi semangat tindakan rasisme. Tentu saja ia mengingatkan apabila agama tidak digunakan untuk kepentingan politik.
“Proses masuknya Islam di Indonesia, Islam sudah damai. Justru dengan damai itulah rahasia mengapa Islam menyebar di seluruh Indonesia. Islam yang damai tentu sangat cocok dengan keragaman,” katanya.