Rabu 01 Aug 2018 13:12 WIB

Jalan Terjal Muslim Jerman

Muslim Jerman menghadapi Ramadhan yang berat.

Para peserta Life of Muslims in Germany 2018 Oriental Department of the State Library di Berlin, Jerman
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Para peserta Life of Muslims in Germany 2018 Oriental Department of the State Library di Berlin, Jerman

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fernan Rahadi dari Berlin, Jerman

Menjadi Muslim minoritas di negara Eropa, seperti Jerman memang penuh tantangan. Persoalan, tak hanya terkait dengan ibadah, tapi juga hubungan dengan masyarakat mayoritas sekuler.

Hal itu salah satunya dirasakan Abdoul (30 tahun), seorang koki di sebuah restoran Italia, Vapiano. Saat ditemui Republika di salah satu cabang Vapiano di Berlin Barat, Ahad (15/7) lalu, pria asal Senegal itu mengutarakan keluh kesahnya. "Hidup di sini berat, orang tidak paham tentang Islam,"katanya di sela-sela memasak hidangan pasta yang dipesan pengunjung.

Sama dengan teman-temannya asal Afrika yang Muslim, Abdoul mengaku merupakan seorang Muslim yang taat. Setiap hari, ia selalu menyempatkan diri untuk shalat. Apalagi, tak jauh dari tempatnya bekerja dan tinggal terdapat masjid.

Meskipun demikian, sulit baginya menerapkan shalat lima waktu. Apalagi, atasannya tidak pernah mengizinkannya istirahat saat jam kerja untuk beribadah. Ia hanya bisa shalat di luar jam kerjanya.

Tiap datang Ramadhan, Abdoul mengaku sengaja tidak bekerja selama sebulan penuh agar bisa melaksanakan ibadah puasa dengan baik. Hal itu juga dilakukannya agar pekerjaannya tidak terganggu akibat dirinya berpuasa.

Abdoul mengaku, sudah tidak betah lagi bekerja di tempat itu. Menurutnya, peker jaan yang dilakukannya sekarang membuatnya merasa seperti mesin. "Saya tidak bisa istirahat di sini. Anda lihat sendiri kan?" ujarnya sambil menunjuk antrean mengular yang harus kami lalui siang itu.

Walaupun baru bekerja di restoran selama tiga bulan, Abdoul mengaku, akan mengundurkan diri pada akhir Juli ini."Ini bulan terakhir saya bekerja di sini,"tuturnya mantap.

Ditanya akan bekerja di mana setelah ini, Abdoul mengaku, belum memikir kannya."Pekerjaan banyak.Mudah jika Anda (penduduk) legal di Jerman," katanya.

Berimigrasi dari Senegal lima tahun yang lalu, Abdoul mendapatkan status sebagai penduduk permanen tiga tahun yang lalu setelah menghabiskan dua tahun pertamanya untuk belajar bahasa. Ia kemudian juga menikah dengan penduduk asli Jerman yang juga Muslim.

Menurut dia, berpindah tinggal di Jerman bukan berarti harus mengikuti ke biasaan orang-orang Jerman. Ia bangga sebagai orang Senegal dan berharap suatu hari nanti bisa kembali ke tanah leluhurnya.

Kehidupan yang berat sebagai Muslim di Jerman juga diakui Levent Yukcu, seorang pengurus di Masjid Sehitlik di Berlin.Selain pemahaman masyarakat Jerman secara umum yang masih kurang, masalah lain yang ditemui adalah persoalan makanan halal.

"Di Jerman, hampir tidak ada restoran yang menyediakan makanan yang berlabel halal," kata Levent.Oleh karena itu, kebanyakan Muslim lebih memilih memasak sendiri hidangan yang ingin dikonsumsinya.

Bagi perempuan Muslim, tantangannya bahkan lebih berat.Ia mencontohkan, tidak ada masjid yang menyediakan tempat ibadah khusus bagi Muslimah. Selain itu, masih terdapat diskriminasi bagi perempuan berhijab."Jika memakai jilbab, perempuan tidak boleh menjadi guru,"kata Levent.

Sementara itu, seorang mahasiswa asal Indonesia yang sedang menempuh kuliah di Jerman, Muhammad Ihsan Karimi (28 tahun), mengungkapkan kendala yang mesti dihadapi Muslim seperti dirinya tiap menjalani ibadah Ramadhan.

Mahasiswa Master of Mechanical Engi neering di TU Berlin itu mengatakan, sulit bagi Muslim untuk menjalankan shalat Tarawih di masjid saat malam hari.Apa lagi, waktu Isya di Berlin bisa di atas jam 11 malam."Karena ada aturan yang tidak memperbolehkan ribut saat malam hari," kata ketua pengurus Masjid Al Falah, Berlin, itu.

Akhirnya, para Muslim, khususnya jamaah Masjid Al-Falah, memilih mengga bungkan waktu Isya dengan waktu Maghrib.Dengan demikian, shalat Tarawih bisa dilaksanakan lebih awal dan tidak mengganggu masyarakat sekitar masjid.

Menghidupkan masjid

Meskipun keadaan berat, hal itu tak menyurutkan semangat para Muslim di Jerman.Seorang relawan yang juga imam di Masjid Al-Taqwa, Gottingen, Khaled Kanjo (62 tahun), menegaskan, tidak ada masalah berarti perihal peribadatan umat Islam di Gottingen.Menurutnya, masyarakat Jerman yang sekuler sangat toleran dengan masyarakat Muslim yang minoritas di Kota Universitas tersebut.

"Mungkin, di tempat-tempat lain di Jerman ada masalah, namun tidak di tempat ini," tutur Khaled.

Ia juga bersyukur karena sejak datang ke tempat itu 30 tahun yang lalu, komunitas Muslim di Gottingen terus berkembang."Masyarakat Islam makin berkembang dan masjid ini juga makin besar,"ujarnya bangga.

Pria berjanggut putih itu juga mengaku tak mempermasalahkan aturan hukum di Jerman yang tidak menganggap tempat itu sebagai masjid, melainkan cultural center."Bagi saya, itu hanya semata hukum.Bagi kami, komunitas Muslim, tempat ini adalah masjid," katanya.

Ia mengaku, paling bahagia jika datang hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri atau Idul Adha.Saat waktu itu tiba, tempat yang terletak di Guter bahn hofstrasse 14 tersebut bisa dipadati ribuan jamaah."Kebanyakan mahasiswa yang datang ke sini," ujar pria asal Suriah itu.

Selain mengadakan ibadah lima waktu, Al-Taqwa juga sering mengadakan kajian-kajian Islam dan sejumlah pelatihan, seperti kursus bahasa Arab dan tadarus Alquran."Bahkan, beberapa waktu lalu ada juga beberapa orang yang masuk Islam dengan mengucapkan syahadat di tempat ini," kata Khaled yang mengaku pernah kuliah di Oxford University itu.

Sementara itu, masjid milik komunitas Muslim Indonesia, Al-Falah, telah memberikan pelayanan terhadap masyarakat Muslim Indonesia di Jerman selama lebih dari 30 tahun.Saat ini, Al-Falah menjadi salah satu komunitas Muslim yang signifikan di Kota Berlin.

"Selain itu, jumlah jamaah masjid ini juga bertambah dan kegiatannya juga makin beragam," ujar kata Muhammad Insan Karimi, Chairman Indonesian Centre for Culture of Wisdom (IWKZ), nama resmi masjid tersebut.

Karimi mengungkapkan, saat ini jamaah Masjid Al-Falah sekitar 600 orang.Bahkan, angka ini bertambah menjadi 1.000 orang tiap hari-hari besar, seperti Idul Fitri atau Idul Adha.Karena banyak masyarakat di luar Berlin yang sengaja datang ke satu-satunya masjid milik Indonesia di Berlin tersebut.

Adapun kegiatan-kegiatan yang sering digelar Al-Falah, di antaranya, seminar ilmiah, bimbingan belajar, sampai kursus bahasa Jerman."Bahkan, banyak juga yang masuk Islam dan menikah di sini,"kata Karimi.Hal itu menjadikan suasana Islami di Al-Falah benar-benar terlihat.

Selain memberikan pelayanan terhadap masyarakat Muslim Indonesia, Al-Falah dalam beberapa waktu terakhir juga aktif berdiplomasi dengan pemerintah setempat.Menurut Karimi, dua isu utama di Berlin adalah krisis taman kanak- kanak (TK) dan krisis tempat tinggal.

Beberapa waktu yang lalu, seorang jamaah Masjid Al-Falah juga kesulitan mendapatkan rumah setelah harus keluar dari tempat tinggalnya sekarang.

Terkait hal ini, Karimi mengatakan, pihaknya sudah berupaya mengusulkan penempatan di bekas-bekas bangunan industri yang kini kosong. "Namun, sejauh ini, kami terkendala karena ternyata sesuai konstitusi bekas bangunan industri juga tidak boleh dipergunakan sebagai tempat tinggal," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement