REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan ribuan relawan pendukungnya di Bogor, Sabtu (4/8) lalu menuai kontroversi. Jokowi pun menanggapi polemik pidatonya tersebut di masyarakat.
Ia meminta, agar pernyataan dalam pidatonya tersebut tak hanya dikutip separuh. Selain itu, ia juga meminta agar pernyataannya tersebut dipahami secara keseluruhan sehingga tak menimbulkan tafsir yang berbeda.
"Siapa yang ngomong? Ditonton yang komplet dong. Coba diruntut dari atas. Jangan diambil sepotongnya saja. Nanti yang enak yang mengomentari kalau seperti itu. Dilihat semuanya secara keseluruhan. Konteksnya akan kelihatan," kata Jokowi usai meninjau venue cabang layar untuk Asian Games 2018 di Ancol, Jakarta Utara, Senin (6/8).
Menurut dia, dalam pidatonya tersebut, ia hanya menyampaikan terkait aset bangsa yang terbesar yakni persatuan dan kerukunan. Oleh sebab itu, ia meminta agar masyarakat tak saling membenci dan menjelekkan satu sama lain.
"Kan saya sampaikan bahwa aset terbesar kita adalah persatuan, kerukunan," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi berpidato di hadapan para pendukungnya saat menghadiri Rapat Umum Relawan Jokowi di Sentul Internasional Convention Center (SICC) Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Sabtu (4/8). Saat itu, Jokowi memang meminta para relawan agar tak saling bermusuhan dan tak menyampaikan ujaran kebencian.
"Jangan membangun permusuhan. Sekali lagi jangan membangun permusuhan. Jangan membangun ujaran-ujaran kebencian. Jangan membangun fitnah-fitnah. Tidak usah suka mencela. Tidak usah suka menjelekkan orang lain. Tapi kalau diajak berantem juga berani. Tapi jangan ngajak lho. Saya bilang tadi, tolong digarisbawahi. Jangan ngajak. Kalau diajak, tidak boleh takut," kata Jokowi.
Jokowi juga mengajak semua relawan menggalang persatuan, persaudaraan dan kerukunan karena hal itu merupakan anugerah dari Allah yang harus disyukuri dan dijaga. Karena itu, dalam pemilihan umum presiden (pilpres) dan pemilihan umum legislatif (pileg), ia berharap persatuan yang telah terbangun di masyarakat tak rusak karena perbedaan pilihan.
"Aset terbesar bangsa ini adalah persatuan, persaudaraan, kerukunan di tengah perbedaan bahasa, suku, agama," kata dia.
Kalimat 'kalau diajak berantem juga berani,' dinilai menimbulkan masalah di masyarakat karena dinilai tak pantas diucapkan oleh seorang Presiden . Jika didalihkan untuk internal relawan, maka Jokowi secara tak sadar telah menempatkan forum tersebut sebagai ajang kampanye, dan itu pelanggaran.
"Secara hukum ucapan itu memenuhi unsur 'sengaja' dan 'dimuka umum'. Unsur pokok dari pasal 160 KUHP untuk menggerakkan terjadinya perbuatan pidana 'berkelahi' " kata Ketua Masyarakat Ungguh (Maung) Bandung , M Rizal Fadillah, SH, dalam rilis yang diterima Republika, Senin (6/8).
Selayaknya sebagai Presiden, lanjut Rizal, Jokowi harus mampu mengendalikan ucapannya, karena dampak yang diakibatkan berbeda dengan ungkapan yang dilakukan oleh warga kebanyakan. Apalagi di depan relawan yang memiliki unsur fanatisme.
Mengingat hal ini telah terjadi, sambung Rizal, maka agar tidak menjadi berkepanjangan dan menimbulkan kegaduhan baru di masyarakat, Maung Bandung Institut mengimbau agar Presiden Jokowi mencabut ucapan provokatifnya dan meminta maaf atas kekhilafan atas pernyataan yang berpotensi pada delik pidana tersebut.
Baca juga: Kiasan 'Kalau Diajak Berantem Juga Berani' yang Disesalkan