Ahad 26 Aug 2018 18:33 WIB

Sembarang Manfaatkan Frekuensi Bisa Berujung Penjara

Kalaupun ada izin, tetap akan diukur apakah sesuai dengan izin atau tidak.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Bincang media bertajuk Cerdas Memanfaatkan Frekuensi di Harper Hotel Yogyakarta, Jumat (24/8).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Bincang media bertajuk Cerdas Memanfaatkan Frekuensi di Harper Hotel Yogyakarta, Jumat (24/8).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Memanfaatkan sumber daya terbatas bernama frekuensi ternyata tidak bisa sembarangan. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Kepala Subdirektorat Monitoring dan Penertiban Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo, Irawati Tjipto Priyanti menekankan, UU itu sudah tentu memiliki hukuman denda maupun penjara yang dapat dijatuhi kepada pelanggarnya.

Ia mengatakan, frekuensi itu merupakan sumber daya yang memang melimpah saat ini, tapi tetap terbatas. Ira menambahkan, PBB sendiri melalui ITU sudah memberikan pedoman untuk memanfaatkan frekuensi.

ITU sendiri membagi negara-negara dunia menjadi tiga bagian, menempatkan Indonesia di region tiga. Secara prinsip, peraturan-peraturan yang ada dibuat tidak lain agar pemanfaat-pemanfaatnya tidak saling mengganggu.

"Tiap produk-produk yang ada sendiri bisa kita cek melalui barcode untuk keasliannya, untuk pedagang-pedagang toko mungkin tidak ada, tapi importir bisa dicek," kata Ira.

Belakangan, pelanggaran-pelanggaran soal sertifikat banyak dilakukan pelaku pelaku bisnis e-commerce. Pasalnya, tidak sedikit mereka menjual barang secara bebas tanpa diketahui keasliannya.

Bahkan, data tahun lalu pelaku-pelaku bisnis yang tidak memiliki sertifikat jumlahnya hampir 50 persen. Tapi, itu berangsur membaik karena tahun ini, periode Januari-Maret yang bersertifikat sudah 60-70 persen.

"Itu kita lakukan di 9 kota seperti Batam, Bandung, Medan, Jakarta, Palembang, Makassar, Banjarmasin, Pontianak, dan Surabaya," ujar Ira.

Senada, Plt Kepala UPT Balai Monitor Kelas 1 DIY, Sugiran, menuturkan pelanggaran yang banyak terjadi di DIY cukup beragam. Mulai frekuensi ilegal sampai melebihi ketentuan teknis parameter.

Biasanya, jika terjadi masalah sertifikasi, terutama pergeseran, pengguna biasanya merasa tidak bersalah karena range frekuensi untuk satu perangkat cukup lebar. Padahal, izin frekuensi mereka tertentu.

Itu yang banyak menimbulkan masalah atau pelanggaran. Jika sudah terjadi, UPT melakukan penertiban sambil membawa perangkat alat ukur. Kalaupun ada izin, tetap akan diukur apakah sesuai dengan izin atau tidak.

"Kalau tidak sesuai kita kasih peringatan, kita berikan kesempatan untuk mengembalikan agar izin kembali diberikan," kata Sugiran.

Kesempatan itu diberikan seiring perjanjian jangka waktu, dan harus sudah mengembalikan sesuai izin. Misalkan jangka waktu habis dan frekuensi belum dikembalikan, tidak ada peringatan ketiga. "Langsung BAP, ditindak tegas," ujarnya.

Sugiran mengungkapkan, di DIY sudah ada yang sampai ke penindakan, termasuk yang sampai masuk penjara. Selain itu, ada pelanggar-pelanggar yang mendapat denda serta masa percobaan satu tahun.

Menurut Sugiran, penegasan terhadap peraturan-peraturan itu secara tidak langsung membuat standar kepatuhan di DIY cukup tinggi. Tidak heran, jumlah pelanggar-pelanggar di DIY terbilang turun drastis.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement