Senin 27 Aug 2018 10:38 WIB

'Pembelian Seluruh Minyak KKKS Berpotensi Timbulkan Masalah'

Pemerintah meminta Pertamina untuk membeli seluruh hasil produksi minyak mentah KKKS

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Ladang minyak
Foto: Yudhi Mahatma/Antara
Ladang minyak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah untuk membebaskan pajak pembelian lifting minyak mentah dinilai bisa menghemat biaya yang harus dikeluarkan PT Pertamina (Persero). Penghapusan pajak lifting minyak ini terkait kewajiban kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas untuk menjual seluruh stok minyak mentahnya ke Pertamina.

Pengamat Ekonomi Energi, Fahmi Radhi mengatakan, penghapusan pajak selain bisa menghemat biaya juga bisa memperlancar proses pembelian minyak di dalam negeri. "Tentunya, penghapusan pajak itu bisa memperlancar proses pembelian minyak di dalam negeri, sehingga bisa mengurangi impor," ujar Fahmi saat dihubungi Republika, Ahad (26/8).

Baca juga, Pertamina dan KKKS Keberatan dengan Pajak Lifting Minyak

Hanya saja, menurut pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, penghematan yang diklaim pemerintah dan Pertamina dari sisi transportasi perlu juga diperhitungkan ulang. Sebab, kata dia, mengacu kepada fakta geografis Indonesia dan lokasi sumber-sumber minyak KKKS yang ada, penghematan biaya transportasi yang diharapkan kemungkinan tidak selalu dapat terjadi.

Pri menilai biaya transportasi yang dikeluarkan ketika membeli minyak dari Singapura atau Malaysia belum tentu lebih mahal daripada yang berasal dari Papua. "Jika benar ada selisih biaya transportasi yang diharapkan, dari sisi manfaat, perkiraan potensi penghematan yang dapat diperoleh kurang lebih dapat mencapai rentang 100-500 juta dolar AS per tahun," ujarnya.

Selain itu, kata Pri, terdapat potensi masalah yang perlu menjadi perhatian pemerintah jika kebijakan kewajiban tersebut diterapkan. Kebijakan ini, menurutnya, berpotensi melanggar kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC) yang selama ini diberlakukan (dishonored of contract sanctity).

Praktik tidak menghormati kontrak bisnis yang telah disepakati para pihak, dikhawatirkan akan makin memberikan sinyal yang tidak kondusif bagi minat dan masuknya investasi (devisa) di sektor hulu migas. "Indonesia dapat dipandang sebagai negara yang tidak konsisten di dalam memegang perjanjian usaha dan juga tidak ramah kepada investasi," ujar Pri.

Lebih lanjut Pri menuturkan, untuk membantu Pertamina dalam hal penghematan biaya pengadaan minyak mentah, pemerintah dapat memberikan harga khusus yang memang menjadi bagian negara bukan kontraktor. "Jadi, tujuan penghematan devisa jangan sampai dilakukan melalui kebijakan atau cara-cara yang justru dapat menghambat masuknya investasi yang akan menghasilkan devisa itu sendiri," tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement