REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah tidak akan menambahkan mata pelajaran khusus pada kurikulum nasional sebagai cara untuk menangkal fenomena radikalisme di kalangan peserta didik.
Hal itu seperti disampaikan Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional, Diah Harianti, pada Seminar Nasional ICMI di Komplek Bidakara Jakarta, Kamis (18/8). "Kami (Kemdiknas) tidak akan menambah mata pelajaran baru bagi peserta didik untuk program pembangunan karakter nasional ini," ujarnya.
Menurut dia, mata pelajaran untuk para siswa SD, SMP dan SMA saat sekarang ini sudah sangat banyak. Oleh sebab itu, pemerintah menggunakan beberapa alternatif untuk mengaplikasikan National Character Building tersebut. Pertama adalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai agama, kebangsaan dan kemanusiaan ke dalam mata pelajaran yang sudah ada. "Bahkan dalam Matematika pun bisa kita masukkan nilai-nilai tersebut," ujar Diah.
Kedua, sambungnya, adalah pengembangan pelajaran muatan lokal. Terakhir adalah memasukkan nilai-nilai agama dan kebangsaan tersebut pada kegiatan pengembangan diri siswa dalam bentuk rutinitas seperti upacara bendera dan ceramah yang bermuatan materi-materi agama dan kebangsaan. Kegiatan pengembangan diri di sekolah ini sudah diterapkan sejak berlakunya KTSP.
Diah juga menerangkan bahwa ketiga program pendidikan karakter di sekolah-sekolah ini sebenarnya sudah diberlakukan sejak dua tahun lalu. "Awalnya kita menetapkan satu sekolah untuk setiap jenjang (SD, SMP dan SMA) sebagai pilot project di masing-masing provinsi," jelasnya.
Seminar nasional yang digelar ICMI kali ini mengangkat tema 'Fenomena Radikalisme di Indonesia dan Upaya Pencegahannya dalam Ragam Persepektif'. Acara itu dihadiri beberapa tokoh nasional seperti Ilham Habibie (Ketua Presidium ICMI), Al-Chaidar (Pengamat Terorisme), Prof M Bambang Pranowo (Dewan Pakar ICMI Pusat), dan Prof Nanat Fatah Natsir (Presidium ICMI).