Selasa 09 Jun 2015 10:45 WIB

Mahasiswa UB Kembangkan Pengolah Limbah Batik

Pekerja melakukan proses pengecapan motif di Batik Betawi Terogong, Jakarta Selatan, Kamis (12/3).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pekerja melakukan proses pengecapan motif di Batik Betawi Terogong, Jakarta Selatan, Kamis (12/3).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Lima mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya (UB) Malang, menciptakan alat pengolah limbah industri tekstil batik yang diberi nama "Platinum Inert Electrolysis Technology and Ativated Carbon".

"Alat pengolah limbah industri tekstil batik ini dilatarbelakangi karena semakin banyaknya jumlah pengrajin batik di Indonesia. Dengan banyaknya jumlah pengrajin batik, tingkat pencemaran air juga semakin meningkat," kata salah seorang anggota kelompok penemu alat tersebut, Agus Setyawan di Malang, Selasa (9/6).

Ia mengatakan jumlah pengrajin batik di Indonesia sekitar 50.000 pengrajin, sedangkan di Kota Malang sekitar 230 pengrajin. Satu pengrajin yang memroduksi tiga kain batik per pekan akan menghasilkan 50 liter limbah, sehingga dalam satu bulan mereka bisa menghasilkan 200 liter limbah yang rata-rata dibuang ke sungai.

Limbah dari industri tekstil batik yang dibuang ke sungai ini ternyata mengandung zat-zat berbahaya, seperti tembaga (Cu), Timbal (Pb), Krom (Cr), dan Seng (Zn) yang bisa membahayakan kesehatan manusia, biota atau makhluk hidup di dalam air serta mengurangi unsur hara yang terkandung dalam tanah.

Oleh karena itu, lanjutnya, dia bersama empat rekannya membuat alat tersebut yang pada dasarnya merupakan metode untuk mengolah limbah. Limbah yang sudah diolah bisa digunakan kembali untuk produksi tekstil selanjutnya.

Komponen dan fungsi alat tersebut terdiri dari Platina Inert untuk mereduksi logam berat yang terdapat dalam limbah seperti tembaga (Cu), timbal (Pb), krom (Cr), dan seng (Zb). Stainless steel berfungsi untuk mengendapkan logam berat dan karbon aktif untuk mereduksi limbah yang belum tereduksi pada tabung elektrolisis dan mengubah warna limbah menjadi warna awalnya.

Lebih lanjut, Agus menjelaskan cara kerja tersebut, yakni limbah dimasukkan ke dalam tabung elektrolisis, kemudian platina dan stainless steel dipasang. Platina dan stainless steel selanjutnya dihubungkan ke arus listrik (tegangan 50 Volt) dan ditunggu 120 menit, kemudian kran di buka, limbah akan memasuki tabung absorben.

Selanjutnya, kata mahasiswa FTP angkatan 2012 itu, proses tersebut ditunggu selama 10 menit, kemudian keran absorben di buka dan limbah siap dibuang. Waktu proses pemisahan dari zat-zat berbahaya membutuhkan waktu dua jam dengan tegangan 50 volt dan kecepatan pengaduk 40 RPM.

Alat yang mereka ciptakan itu mempunyai kelebihan, yaitu dari segi waktu, biaya, dan cara kerja yang lebih efektif dan efisien. Selain itu, juga ramah lingkungan karena zat kimia yang terkandung dalam limbah diendapkan dan direduksi, sehingga ketika dibuang ke sungai tidak akan merusak unsur hara tanah dan tidak akan mematikan biota/makhluk hidup air.

"Setelah kami lakukan percobaan dan penelitian lebih lanjut, pada saat proses elektrolisis ternyata terjadi penguapan gas yang apabila diproduksi dalam jumlah besar mampu menghidupkan kompor gas untuk kebutuhan rumah tangga," ujarnya.

Selain Agus Setyawan, empat mahasiswa lainnya yang berperan dalam menciptakan alat pengolah limbah tesrebut adalah Juli Erwanda (FTP-Teknik Bioproses 2013), M Doddy Darmawan (FTP-Teknik Bioproses 2013), Natalia Simanjuntak (FTP-Teknik Bioproses 2013) dan Rahma Wati Pertiwi (FTP-Teknik Bioproses 2013). Penelitian mereka didampingi dosen pembimbing Shinta Rosalia Dewi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement