REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Pihak Sekolah Tinggi Teknologi Mikar dan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Mikar (STT / STMIK MIKAR) memprotes keras keputusan Kemenristek Dikti terkait penonaktifan kampus yang berlokasi di Jalan Joyomartono Bekasi ini.
Pembina Yayasan kampus, Suroyo menyebutkan, kampusnya selama ini tidak pernah melakukan pelanggaran apapun sehingga tidak seharusnya dicap sebagai kampus abal-abal.
“Kami mengelola perguruan tinggi ini tidak ada konflik, tidak ada kelas jauh, tidak melakukan kecurangan akademik seperti ijazah palsu, tidak pernah terlambat menyampaikan laporan PDB. Kami tidak ada pelanggaran yang bisa membuat kampus kami disebut abal-abal,” tutur Suroyo pada awak media di Kampus STT/STMIK Mikar di Jalan Joyomartono, Bekasi Timur, Sabtu (3/10).
Namun, Suroyo mengakui ada satu kekurangan pada kampus mereka, yaitu jumlah dosen yang belum cukup. Dengan rasio dosen dan mahasiswa 1: 67. Pihak kampus saat ini, kata Suroyo, sedang melakukan rekruitmen dosen untuk memenuhi kekurangan tenaga pengajar tersebut.
“Kami minta pengertian, jangan ada stigma abal-abal lah. Ada kampus yang rasionya lebih dari 100, yang gedungnya ruko, tapi masih aktif. Kampus kita fasilitasnya memadai, ada 3 gedung, ada lapangan, ada masjid, ada kantin. Tahun ini kami dapat rekomendasi kampus sehat dan tidak ada masalah. Tapi kok malah dinonaktifkan,”ujar Suroyo.
Hal yang disayangkan oleh pihak kampus, lanjut Suroyo, penonaktifan kampus ini tidak disertai dengan surat resmi dari kementerian kepada kampus. Namun, melalui media. Padahal sebelumnya kampus ini sudah dilakukan monitoring dan evaluasi oleh Kopertis wilayah 4 Jawa Barat dan kampusnya dinyatakan valid.
“Di monev dinyatakan sehat tidak ada pelanggaran apapun dan tidak ada apa-apa. Itu sebelum lebaran. Selang lebaran, masuk kerja tanggal 24 Juli, tanggal 27 Juli dibilang non aktif. Kita klarifikasi ke Dikti disuruh ke Kopertis karena mereka tidak tahu, disuruh ke koordinator, disuruh bikin surat audiensi, tapi sampai saat ini tidak ada balasan. Kita ke Dikti, Pak Dirjen Dikti nggak tau, Sesdirjen juga nggak tahu kenapa kita dinonaktifkan,” tutur Suroyo.
Selain itu, kampusnya pun pernah mendapat hibah bantuan perguruan tinggi swasta sebesar Rp 500 juta dari Kemenristekdikti. Bagaimana mungkin, kata Suroyo, kampus yang diberi bantuan oleh kementerian malah dinonaktifkan. Untuk itu, Suroyo meyakini jika ada yang tidak beres dari pihak yang menangani hal ini.
“Jangan-jangan orang bawahnya aja, menteri nggak tahu. Karena kita kan dapat hibah dari menteri. Kami mendukung kebijakan pak menteri untuk kebijakan pendidikan berkualitas, tapi yang di bawah kerjanya nggak bener,” ujarnya.
Untuk itu Suroyo berharap jika pihak kementerian bisa segera menanggapi surat protes yang dilayangkan pihaknya sejak tanggal 28 Juli lalu itu. Kalau perlu disidak atau disurvei langsung ke kampusnya. Agar diperjelas, apa memang kampusnya harus dinonaktfikan atau tidak. “Syukur-syukur pas lihat langsung ke sini sekalian ditarik penonaktifannya,” kata Suroyo.