REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kompetensi menulis ilmiah tergolong rendah di Indonesia. Hal ini dibuktikan hanya ada 0,8 artikel per satu juta penduduk Indonesia, sedangkan di India mencapai 12 artikel per satu juta penduduk. Bahkan dibandingkan negara-negara ASEAN, Indonesia Indonesia berada di posisi terendah dalam menulis ilmiah dibandingkan Malaysia, Singapura, atau Thailand.
Karena itu upaya mengkampanyekan menulis ilmiah sebagai kompetensi penting dilakukan. Di era milenial ini, mahasiswa pun dituntut harus lebih banyak menulis ilmiah, bukan menulis imajinasi. Dalam memperingati Bulan Bahasa 2017, Universitas Indraprasta PGRI menggelar Workshop Menulis Ilmiah bertajuk “Menulis Ilmiah Sebagai Kompetensi: Dari Belajar Hingga Membuat Buku” di Kampus Unindra Jakarta, Selasa (17/10).
“Di kalangan anak muda dan akademisi, menulis ilmiah bagai jauh panggang dari api. Maka untuk menegakkan Bahasa Indonesia perlu dikampanyekan menulis ilmiah sebagai kompetensi. Menulis harus dijadikan gaya hidup anak-anak muda” ujar Syarifudin Yunus, pembicara workshop dan dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Unindra.
Ia menambahkan, melalui tulisan ilmiah, ada banyak kompetensi yang bisa dicapai seperti sikap objektif, gaya bahasa yang impersonal, diksi yang lugas, serta kalimat yang efektif. Menurutnya, kompetensi menulis ilmiah akan menjadi cermin bahasa Indonesia yang baku. Sebab, di era media sosial seperti sekarang, bahasa Indonesia harus mampu menunjukkan identitas sebagai bahasa yang egaliter, demokratis, dan tidak memandang kasta.
Tidak kurang 50 mahasiswa mengikuti workshop Menulis Ilmiah ini, dengan tujuan untuk meningkatkan minat mahasiswa dalam menulis ilmiah, di samping melatih kemampuan berbahasa Indonesia yang lugas dan sistematis.
“Salah satu sebab sikap meremehkan bahasa Indonesia, harus diakui, karena kita sebagai pengguna bahasa jarang menulis ilmiah. Maka yang terjadi, bahasa yang disajikan seringkali bersifat multiitafsir dan menimbulkan kontroversial. Maka tradisi menulis ilmiah harus dikampanyekan” tambah Syarifudin Yunus dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (17/10).
Syarifudin mengemukakan, menulis ilmiah adalah kompetensi. Artinya, menulis ilmiah bukan mata kuliah atau pelajaran. Tapi perilaku nyata dalam menuangkan ide atau gagasan ilmiah secara tertulis.
“Menulis ilmiah gagal karena banyak orang yang belajar menulis tapi tidak menulis. Sehingga, bahasa yang dimiliki tidak terlatih dan seringkali ambigu. Banyak orang hanya mengajar menulis tapi tidak memberi contoh untuk menulis,” papar Syarifudin.
Ia menyebutkan, tulisan ilmiah yang baik pada dasarnya harus mampu “mendekatkan jarak” antara penulis dan pembaca. Karena itu, menulis ilmiah mengharuskan terjadinya pemahaman dan penafsiran yang sama antara pembaca dengan isi tulisan. “Maka menulis ilmiah, pada akhirnya tidak hanya menjadi kompetensi tapi juga representasi cara berpikir ilmiah,” tuturnya.
Maka sebagai solusi, Syarifudin menambahkan, untuk bisa menulis ilmiah hanya diperlukan latihan dan kemauan untuk terus menulis, naik bagi para pembelajar maupun pengajar. “Karena menulis ilmiah hanya bisa terjadi bila ada keteladanan, contoh yang baik dalam menulis ilmiah,” ujarnya.
Melalui workshop Menulis Ilmiah ini, para peserta harus membuat satu tulisan ilmiah yang akan diterbitkkan menjadi buku pada November 2017 dengan tema “Membedah Teks Ujaran Kebencian”.
“Ingat, menulis ilmiah tidak cukup hanya diketahui. Tapi harus dilakukan. Karena kita tidak akan pernah menjadi diri kita sendiri ketika kita belum mampu menuliskannya,” ujar Syarifudin Yunus menyimpulkan.