REPUBLIKA.CO.ID, Terciptanya sebuah inovasi tak lepas dari permasalahan di masyarakat yang selama ini perlu mendapatkan solusinya. Semua aspek termasuk dunia pertanian tentu memiliki problem yang sampai saat ini memerlukan sebuah jalan ke luar.
Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP UB), Firdausi menjelaskan, saat ini buah-buahan sudah menjadi komoditas pertanian yang berprospek tinggi. Hal ini dikarenakan hasil jumlah produksi dan permintaan pasar yang terus meningkat.
Di antara bermacam buah, kata dia, tentu terdapat beberapa yang sering menjadi incaran pasar. "Salah satunya adalah buah jambu biji," ujar perempuan yang disapa Firda ini kepada Republika.co.id, Rabu (4/6).
Firda mengatakan, bukti buah jambu biji menjadi incaran pasar terlihat dari hasil luas panennya yang sangat meningkat pesat. Pada 2016 luas panen buah ini mencapai hingga 26.769 hektare yang semula hanya 8.864 hektare di 2015. Data ini, kata dia, tertulis dalam Laporan Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura pada 2017.
Di Kampung Inggris Kediri, terdapat sekelompok tani yang dipimpin Abu Thoyib yang membudidayakan buah jambu biji untuk tujuan komersial. Dengan luas total lahan (terdapat tiga lahan) seluas 3.562,5 meter persegi, mereka sukses menghasilkan kurang lebih 21 ton buah.
"Hasil ini diperoleh setiap 14 bulan dalam tiga kali masa panen dari 522 pohon yang produktif menghasilkan buah," katanya.
Namun, ternyata mereka selalu mengalami kerugian kurang lebih lima ton buah setiap 14 bulan dalam tiga kali masa panen tersebut. Hal ini dikarenakan, buahnya busuk. Penyebab busuknya buah dikarenakan kelompok tani ini tidak menggunakan pestisida, melainkan secara manual.
"Buah dibungkus ketika berukuran kecil atau berusia muda sebagai ganti menghindari serangan hama yang merupakan penyebab busuknya buah," tambah dia.
Menurut Firda, setiap petani hanya mampu melakukan pembungkusan buah dengan plastik sebanyak 1.000 buah setiap harinya. Hal ini dinilai kurang cepat karena masih banyak buah yang tidak dapat dibungkus setiap harinya. Dampaknya, banyak buah menjadi busuk sebelum sempat dibungkus.
Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) membuat inovasi untuk membantu hasil pertanian para petani.
Selain itu, pengecekan kematangan buah secara manual juga dinilai lambat. Sebab, hal ini dianggap menjadi faktor kebusukan buah sebelum sempat memasuki masa panen. Sistem kerja yang lambat ini juga menyebabkan kelompok tani ini tidak mampu memenuhi permintaan pasar sebesar lima ton per tiga hari selama musim panen.
Melihat situasi ini, mahasiswa UB dengan didanai DIKTI pada Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) mencoba mengenalkan sebuah inovasi. Inovasi tersebut diberinama Faster Frover (Fast Wrapper and Positioning Marker Fruit Cover). Alat ini diciptakan oleh mahasiswa kebanggan UB, yakni M. Rikza Maulana, Adin Okta triqadafi, Satrio Wiradinta Riady Boer, Venny Seftiani dan Firdausi.
Firda mengatakan, alat ini ditujukan demi memudahkan para petani buah. Lebih tepatnya ketika mereka melakukan pembungkusan buah dengan plastik saat buah masih berukuran kecil atau muda.
"Untuk pembuatan alatnya sendiri didadasari oleh informasi yang berisikan masalah yang dihadapi mitra melalui wawancara secara langsung. Setelah pengumpulan komponen pendukung, kami akan merancang alat sesuai rancangan yang telah direncanakan," kata perempuan berhijab ini.
Secara garis besar, alat ini memiliki sistem yang digunakan untuk mengunci plastik agar kuat dan erat ketika diaplikasikan pada buah. Untuk itu, sistem pengunci menggunakan kawat pemanas (terpasang pada jari telunjuk) yang terhubung ke baterai. Pemanas akan aktif ketika pengguna menekan kawat pemanas ini dengan ibu jari yang telah diberi alas pengaman. Jika pemanas ditekan, maka pemanas akan bekerja memanaskan plastik.
Kemudian alat ini secara otomatis akan memutus arus yang dialirkan untuk menghentikan pemanasan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan yaitu 400 ms. Selain mengaktifkan pemanas, alat juga dapat mencatat waktu dan lokasi pemasangan plastik ketika pembungkusan yang diinput dalam berupa data.
Selanjutnya, data-data yang diperoleh akan disimpan dalam sebuah kartu memori. Tujuannya, hasil ini dapat digunakan untuk analisa data pada smartphone yang dimiliki petani.
Pembacaan data pada smartphone juga dianggap sangat mudah. Petani hanya perlu memasukkan kartu memori lalu membuka aplikasi Faster Frover. Secara otomatis, kata dia, data yang didapatkan tadi dapat dipetakan pada layar.
Dengan aplikasi smartphone, posisi dapat diketahui pada peta serta waktu panen pada tiap-tiap titik. Waktu panen ditandai dengan warna titik yang berubah secara dinamis dengan indikasi warna merah hingga hijau. Dua warna ini menandakan buah siap untuk dipanen. "Sedangkan hitam berarti buah telah lewat dari masa panennya," jelasnya.
Adapun mengenai kelebihan alat ini, Firda menyatakan, petani dapat mengetahui jumlah buah yang telah dibungkus. Dengan demikian, petani dapat memperkirakan keuntungan yang akan diperoleh nantinya.