REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dianugerahkan gelar doktor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sultan menerima gelar untuk bidang manajemen pendidikan karakter berbasis budaya.
Rektor UNY, Sutrisna Wibawa mengatakan, pemberian gelar itu sudah disiapkan sejak 1,5 tahun lalu. Mulai mengumpulkan karya-karyanya, Curiculum Vitae, dan dari berbagai sumber, terutama Pemda DIY.
Untuk gelar itu, UNY melihat Hamengku Buwono X sebagai gubernur DIY, bukan sebagai Raja Yogyakarta. Sebagai gubernur, HB X dirasa miliki keistimewaan karena membuat pendidikan DIY tidak lepas dari budaya.
"Kita ingin pendidikan karakter berbasis budaya bisa diterapkan di Indonesia, berharap di tempat lain berbasis budaya masing-masing, menggunakan kearifan lokalnya," kata Sutrisna, Selasa (3/9).
Ia menekankan, semangat kearifan lokal itu harus terus dikuatkan. Sebab, Sutrisna berpendapat, budaya yang beragam itu memang merupakan keragaman, bukan merupakan suatu perbedaan.
Sutrisna menerangkan, doktor honoris causa untuk HB X telah melalui dua tahapan. Mulai sidang komisi maupun sidang pleno yang dihadiri seluruh senat, dan secara bulat menyetujui penganugerahan tersebut.
Untuk UNY sendiri, pengenugerahan yang rencananya dilakukan pada Kamis (5/9) itu jadi kali kelima. Gelar doktor honoris causa telah diberikan kepada tokoh-tokoh seperti Amri Yahya, Ari Ginanjar, Taufik Ismail, dan Darsono.
"Melalui pengenugerahan kepada Ngerso Dalem (HB X), kita berharap best practice Yogyakarta bisa menasional karena tiap daerah hampir pasti memiliki kekayaan budayanya masing-masing," ujar Sutrisna.
Promotor merupakan Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni UNY, Suminto A Sayuti. Suminto menilai, HB X memang memiliki keunikan karena disiplin keilmuwan yang diberikan berbasis budaya.
Hal itu dinilai jadi partikularitas HB X dalam mengelola pendidikan karakter di DIY. Sebagai gubernur, UNY melihat Sultan telah sukses menghadirkan tata kelola yang betul-betul berbasis budaya.
Sultan telah pula mendirikan Akademi Komunitas Negeri Seni Budaya Yogyakarta. Berbarengan itu, DIY memunculkan pula desa-desa budaya yang ternyata menjadi daya tarik dan keunggulan tersendiri bagi DIY.
Hari ini, lanjut Suminto, justru merupakan modal yang sangat besar dalam pembangunan karakter anak-anak bangsa. Terutama, di tengah-tengah arus globalisasi dan neo-kapitalis yang begitu mengancam.
"Mengancam nilai-nilai budaya bahkan keindonesiaan, makanya Ngerso Dalem selalu bicara restorasi budaya, Yogya Semesta (di Kepatihan) menjadi salah satu perwujudan usaha itu," katanya.
Tapi, Suminto berpendapat, cara yang dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono X berbeda. Sultan, dinilai merawat kebudayaan yang ada di DIY tanpa membuatnya menjadi beku.
Suminto melihat, Sultan menjadikan DIY memiliki budaya yang terbuka. Kondisi itulah yang memungkinkan DIY mampu menerima asupan-asupan eksternal manapun demi menguatkan akar-akar budaya DIY sendiri.
"Saya memaknai Ngerso Dalem tidak hanya bernarasi, tapi melakukan praksis itu dengan sadar, karenanya saya dan teman-teman di UNY yakin pengenugerahan ini tidak salah," ujar Suminto.