REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa'at
(Praktisi Pendidikan, Instruktur di Character Building Institute)
Sifat kesatria telah hilang di negeri ini. Penyelesaian secara jantan tidak lagi tampak. Yang tumbuh berkembang justru mental-mental pengecut. Dulu di era tahun 60 hingga 70-an, tak dikenal perkelahian antarsekolah. Kini, saling kejar antar sekolah hal biasa. Dulu, tak ada tawuran antar pelajar. Tapi kini, pelajar berhambur di jalan-jalan menenteng kelewang, samurai, rantai sepeda, golok, dan apa pun benda keras untuk menjatuhkan lawan.
Ada cara berbeda dan elegan yang dilakukan pelajar di masa silam. Adu jotos antar murid diselesaikan secara jantan. Usai jam sekolah, arena baku hantam dibuat melingkar dikerumuni rekan-rekan. Yang siap berduel berada di tengah-tengah. Satu lawan satu. Baju pun ditanggalkan tanda siap berlaga. Terjadilah baku hantam.
Bila saat itu posisi seri atau tak ada yang merasa kalah, perkelahian berlanjut esok. Sampai kapan? Sampai ada yang menyerah atau mengaku kalah. Setelah ada yang kalah, lantas keduanya bersalaman lagi, tanda persoalan selesai. Keesokan hari, biasanya mereka menjadi lebih akrab lagi. Tak jarang ada yang malah jadi bersahabat.
Dulu dan kini memang beda. Beda zaman beda gayanya. Yang jadi soal, gaya seperti apa yang mesti dilestarikan atau kita musnahkan. Berkelahi dan saling melukai itu merugikan siapapun yang terlibat di dalamnya. Jika suatu urusan bisa selesai tanpa adu jotos, itulah kebaikan. Jika pun mesti berduel sebagai opsi terakhir, mungkinkah cara di tahun 60 hingga 70-an dijadikan pilihan terbaik? Bukan soal seni berkelahinya, tapi sifat ksatria untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan. Andai sifat ksatria masih ada dan membumi di tengah masyarakat, mustahil ada adegan keroyokan dan main hakim sendiri. Pun perang antar-kampung yang tersulut karena hal-hal sepele.
Satu sikap ksatria tercermin dari keberanian mengambil sikap atas nama kebenaran. Jika bersalah, dia pasti minta maaf dan segera koreksi diri. Tak ada adegan bersilat lidah, ujung-ujungnya mengkambinghitamkan orang lain. Jika benar, tak goyah dengan teror apapun yang menghampiri. Mudah dikatakan, tapi memang cukup sulit untuk konsisten dipraktikkan dalam kehidupan. Orang yang punya sifat ksatria pasti punya integritas dan disegani kawan bahkan lawan sekalipun.
Mari cermati perilaku pemimpin di negeri ini, berapa banyak yang konsisten bersikap ksatria? Masalah tawuran pelajar itu sangat kompleks dan tak berdiri sendiri. Mengapa masalah ini tak pernah kunjung tuntas diselesaikan, malah lestari diwariskan antar lintas generasi? Ungkap tuntas penyebab tawuran pelajar, jangan-jangan dianggap menelanjangi reputasi sekolah dan pejabat berwenang.
Diam seribu bahasa jadi pilihan. Itulah cara berpikir pemimpin sekolah yang jauh dari sikap ksatria. Prinsip lebih baik mencegah daripada mengobati sudah tak berlaku lagi. Maunya cari selamat sendiri, soal akar masalah tak tuntas, ‘Emang Gue Pikirin’ kata anak muda sekarang. Kemaslahatan umum itu nomor dua, ‘pencitraan diri’ jadi segalanya.
Padahal, jika semua akar masalah dibongkar, solusi jitu bisa diikhtiarkan. Dan semua pemimpin sekolah serempak lakukan hal yang sama. Bersinergi untuk tuntaskan kasus tawuran pelajar. Itu tanda sekolah serius mendidik anak-anak bangsa agar mewarisi sikap ksatria dari para pahlawan dan pemimpin kita di masa lampau. Tak cukup hanya sekadar menggelar ikrar anti-tawuran pelajar, lalu esok hari pertarungan sengit antar pelajar pun dihelat kembali.
Jika hal ini berlaku, maka sejatinya para pemimpin sekolah sebagai orangtua sudah mendidik dirinya sendiri sekaligus memberikan keteladanan kepada anak-anak tentang pentingnya bersikap ksatria. Berani bertanggung jawab dan siap menanggung segala konsekuensi. Tak pernah ada istilah lempar batu sembunyi tangan dalam kamus hidupnya.
Kini ksatria dijauhi, tidak populer. Mau bukti? Istilah ksatria jarang mengemuka di forum publik, di talk show, di debat politik dan ekenomi, di debat calon presiden dan kepala daerah, bahkan mungkin jarang terdengar di sekolah-sekolah mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai perguruan tinggi. Apa tanda dari semua ini?
Dalam praktiknya, kita tak pernah dididik untuk bersifat ksatria. Tanpa ksatria, kita hanya diarahkan untuk jadi pecundang. Jadi warga masyarakat yang tak pernah mau, tak mampu, dan tak paham tentang tanggung jawab pada negerinya sendiri. Berapa besar kerugian yang mesti diderita diri sendiri, keluarga, sekolah, masyarakat, dan bangsa ini dari kasus tawuran pelajar? Jangan anggap sepele.
Yang mengkhawatirkan, dampak dari orangtua yang jadi pejabat, tokoh masyarakat, atau pemimpin apa pun tanpa jiwa ksatria. Yang mengenaskan, anak-anak mereka amat bangga dengan posisi orangtuanya, bukan sifat ksatria mereka. Alih-alih dapat pendidikan karakter, pembunuhan karakter pada diri anak sudah dilakukan semenjak dini. Mereka tergagap memahami sifat ksatria karena tak punya figur teladan dari orangtua mereka yang mengaku dirinya pemimpin.
Karena sejatinya, anak-anak tak pernah gagal jadi peniru ulung. Seperti yang dituturkan Leonard Sax, “If we fail to provide boys with pro-social models of the transition to adulthood, they may construct their own. In some cases, gang initiation rituals, street racing, and random violence may be the result”. Lantas, dimana kita harus mencari sifat ksatria yang hilang? Ksatria oh ksatria.