REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana untuk menyelenggarakan sekolah inklusif, sangat minim. Agar 33 provinsi di Indonesia bisa menyelenggarakan sekolah inklusif, dibutuhkan dana sekitar Rp 330 miliar.
Namun, pada tahun ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), hanya mengalokasikan dana untuk sekolah inklusif dari dana APBN sebesar Rp 15 miliar.
Akibatnya, hingga saat ini banyak anak berkebutuhan khusus yang belum terlayani sekolah inklusif. Dari 325 ribu anak berkebutuhan khusus, yang terlayani hanya 116 ribu.
"Untuk mengatasi keterbatasan dana tersebut, kami mendorong semakin banyak pemerintah daerah terlibat dalam gerakan pendidikan inklusif," ujar Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (PPK-PLK Dikdas Kemendikbud) Mudjito, kepada Republika, Rabu (16/10).
Menurut Mudjito, saat ini baru 39 kabupaten/ kota dan satu provinsi, yakni Kalimantan Selatan, yang secara resmi telah mencanangkan sekolah inklusif.
Bahkan, Kalimantan Selatan ikut menganggarkan dana untuk sekolah inklusif ini sebesar Rp 10 miliar. Provinsi lain yang akan mencanangkan sekolah inklusif ini adalah Sumatra Selatan.
Mudjito mengatakan, dengan pencanangan gerakan pendidikan inklusif oleh pemerintah daerah, diharapkan ada perubahan signifikan dalam kebijakan penanganan anak penyandang disabilitas.
Sebab, seluruh elemen di daerah tersebut, mulai dari sekolah negeri, swasta, madrasah, hingga pondok pesantren akan dilibatkan. Pengalokasikan dana dalam APBD juga dijamin bakal makin memihak pada program ini.
"Pencanangan gerakan pendidikan inklusi di daerah ini cukup efektif untuk menambah layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Dalam dua tahun, anak yang bisa dilayani bertambah sekitar 10 ribu," katanya.
Dijelaskan Mudjito, gerakan pendidikan inklusif ini pun, sekaligus menjadi siasat atas keterbatasan anggaran APBN. Dana Rp 1 miliar yang dijanjikan kepada daerah penerap gerakan ini setara dengan pembangunan satu SLB saja. Artinya, dana sebanyak itu, biasanya hanya cukup untuk melayani 50-70 (anak berkebutuhan khusus) ABK.
Namun, kata dia, jika dialokasikan untuk gerakan ini, semakin banyak anak penyandang disabilitas bakal terlayani. Sebab, ada komitmen dari pemerintah daerah. Pada 2012, ada 20 kabupaten/ kota yang menjalankan program pendidikan inklusif.
Pada tahun ini, ditargetkan ada 20 kabupaten/ kota juga yang menggelar program yang sama.
Mudjito mengungkapkan, dengan program tersebut pemerintah pusat terus mendorong semakin banyak pemerintah daerah berkomitmen melaksanakan gerakan pendidikan inklusif.
Semua kabupaten/ kota tersebut, akan memperoleh pendampingan untuk merumuskan peraturan daerah yang mengatur pendidikan inklusif sebagai turunan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.
"Peraturan selevel Permendiknas seringkali tidak efektif. Gerakan jadi kurang berakar, makanya harus ada Perda juga," katanya.
Untuk Jawa Barat, Mudjito meyakini, pemerintah daerah ini sangat potensial u segera mencanangkan gerakan pendidikan inklusif ini.
Syarat-syarat utama, seperti keberadaan peraturan daerah dan kelompok kerja, sudah dimiliki provinsi ini. Tambahan lagi, di Jabar bahkan sudah ada pusat pelatihan. "Saat ini saya terus memprovokasi Pak Gubernur Jabar," katanya.
Berdasarkan catatan Kemendikbud, kata dia, saat ini terdapat sekitar 2.603 SD dan SMP di seluruh Indonesia yang sudah menjadi sekolah inklusif. Di tingkat pendidikan menengah, jumlahnya jauh lebih sedikit, hanya 126 SMA.
Mayoritas sekolah-sekolah tersebut berada di Pulau Jawa. Yakni, Jawa Tengah dan Yogyakarta menjadi provinsi penyumbang sekolah inklusi terbanyak.
Secara bertahap, kata dia, semua sekolah harus memiliki sekolah inklusif. Tahap awal, di semua kecamatan harus ada sekolah inklusinya. Sebab, Indonesia harus menjadi negara inklusif sebagai embrio dari demokarasi.
"Kalau semua sekolah inklusif maka Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) pasti akan naik. Tentu, otomatis IPM-nya juga naik," katanya.
Selain itu, kata dia, kalau anak berkebutuhan khusus terlayani, maka otomatis bisa menjangkau anak dhuafa, gelandangan dan anak jalanan.