REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah memutuskan untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 dan mengembalikannya pada Kurikulum 2006. Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah Anies Baswedan mengatakan, ia tak masalah diberi label 'gonta-ganti' program akibat keputusan tersebut.
"Kalau saya diamkan supaya tidak dapat label itu, anak-anak jadi masalah. Ya sudah, lebih baik menterinya yang tanggung beban tadi daripada saya membiarkan anak-anak terus menghadapi masalah akibat kurikulum," ujarnya di Istana Merdeka, Senin (8/12).
Anies mengatakan, impelementasi Kurikulum 2013 di lapangan terlalu banyak masalah sehingga pemerintah harus berani mengambil langkah cepat untuk menghentikannya. Dia menyebut, Kurikulum 2013 belum digarap dengan matang namun sudah terburu-buru dilaksanakan. Akibatnya, ketika guru sebagai instrumen utama pendidikan juga belum siap menggunakan kurikulum baru, imbasnya beban belajar jadi berpindah ke siswa.
"Idealnya kurikulum sudah matang baru dilaksanakan, jadi tidak ketemu masalah kaya gini," ucap mantan rektor Universitas Paramadina tersebut.
Meski demikian, dia menyadari, menghentikan Kurikulum 2013 akan menimbulkan masalah baru. Namun, kata Anies, hal itu masih lebih baik dari pada membiarkan siswa terus menerus terbebani Kurikulum 2013.
"Kalau dihentikan tentu ada masalah. Tapi minimal ini //cut cost//. Kalau diteruskan ongkosnya akan lebih mahal untuk anak-anak kita," kata dia.
Seperti diketahui, Kurikulum 2013 pertama kali diterapkan oleh pemerintahan SBY-Boediono secara bertahap mulai tahun ajaran 2013-2014. Ada 206.799 sekolah yang sudah menjalankan kurikulum tersebut. Namun, saat baru berjalan empat bulan, pemerintahan Jokowi akan langsung menghentikannya.