REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Hendri menilai akan terjadi persaingan antara Komite Sekolah di daerah perkotaan dalam memperebutkan penggalangan bantuan dari masyarakat. Kekhwatiran tersebut menyusul terbitnya Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Regulasi itu memberikan rambu-rambu pada Komite Sekolah melakukan penggalangan bantuan dari masyarakat dan sumbangan dari orang tua.
"Di perkotaan diprediksi akan banyak sekolah mengajukan proposal pada perusahaan atau instansi tertentu," kata dia di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Selasa (17/1).
Sehingga, menurutnya hal tersebut berpotensi memicu persaingan dan kompetisi antar-Komite Sekolah untuk memperebutkan bantuan dari donatur. Ia mengatakan, kompetisi tersebut tidak akan menguntungkan terhadap sekolah yang pengurus Komitenya tidak memiliki akses dan jaringan yang kuat pada pendonor.
Kondisi itu, menurut Febri, berdampak pada tidak terpenuhinya target bantuan. Ia khawatir orangtua/wali murid akan terkena imbasnya. Sebab, Komite Sekolah dapat menggalang dana dengan mengandalkan sumbangan dari orangtua murid. "Ketika hal ini terjadi, mungkin saja Komite Sekolah memberlakukan sumbangan dengan unsur mengikat. Dengan kata lain sumbangan tersebut pada dasarnya adalah pungutan," tutur Febri.
Ia meragukan efektifitas penggalangan dana terhadap masyarakat yang dilakukan Komite Sekolah. Alasannya, tidak semua pengurus Komite Sekolah memiliki akses dan kemampuan untuk hal tersebut. "Sebagian pengurus komite sekolah diragukan memiliki akses terhadap perusahaan yang memiliki program CSR, tokoh masyarakat, individu dengan kemampuan ekonomi tinggi dan pihak lain," ujarnya. Febri tidak menampik, sebagian Komite Sekolah lainnya, mungkin mampu mengakses karena perusahaan berada dekat dengan wilayah sekolahnya.